Pemilihan umum 2024 masih lama. Tapi geliatnya sudah mulai terasa. Empat tahun waktu yang teramat pendek untuk proses pemasaran produk bernama partai politik. Di pasar milenial pula.
Saya tiga kali terkejut. Poster yang saya terima melalui Whatsapp itu pemicunya. Poster itu mengiringi permintaan Endy Kurniawan, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gelora, agar saya bersedia menjadi pembicara dalam acara Digifest 2020.
Kejutan pertama adalah nama Digifest 2020 itu sendiri. Di bawah judul acara tertulis tagline simple: Creative Education. Entertainment. Enlightenment. Mengapa kata ‘Digifest’ yang dipilih? Mengapa memakai tagline berbahasa Inggris?
Kejutan kedua: sosok yang ditampilkan dalam e-poster itu semuanya muda. Kecuali: saya dan Anis Matta serta Fahri Hamzah, dua pendiri partai Gelora. Kejutan ketiga: Ada foto perempuan muda tak berhijab di poster itu.
Saya coba pastikan sekali lagi. Jangan-jangan salah edit naskah dan foto. Ternyata tidak. Itu e-poster resmi.
Dalam komunikasi, pesan visual memiliki kemampuan empat kali lebih kuat dibanding pesan verbal. Maka dalam komunikasi visual first impression itu sangat penting.
Empat detik pertama. Di situlah pertaruhannya. Pandangan pertamalah yang menentukan: Apakah saya sebagai penerima pesan akan mau membaca lebih jauh, membagikan kepada teman-teman saya, atau saya hapus dari memory handphone.
Dari pandangan pertama itu, saya menyimpulkan: Pesan partai ini keren. Untuk menguji kesimpulan itu, saya putuskan membagikan poster ke beberapa grup Whatsapp. Termasuk grup yang saya anggap ‘garis keras’. Ajiiib. Tidak ada yang berkomentar negatif.
Pemilihan umum 2024 adalah awal sejarah baru pemilihan umum secara nasional. Inilah kali pertama generasi milenial menjadi penentu kemenangan partai politik.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni merilis data menarik. Jumlah pemilih muda pada pemilu 2024 berjumlah lebih dari 50 persen. Bila dikategorisasi hingga usia 35 tahun, jumlahnya mencapai 79 juta. Tetapi kalau yang disebut usia muda dinaikkan sampai 40 tahun jumlahnya mencapai 100 juta.
‘’Anak milenial itu cenderung apolitis. Tidak mudah menjadikan mereka sebagai pendukung partai politik. Tapi, sesulit apa pun anak milenial harus diurus dengan serius,’’ komentar saya dalam obrolan tengah malam seminggu sebelum launching acara Digifest.
Saya mengenal secara pribadi Endy Kurniawan. Hubungan kami sangat dekat. Lebih 10 tahun Endy menjadi teman diskusi yang asyik. Kami biasa ngobrol soal bisnis sampai politik. Kadang sambil makan di restoran. Tapi lebih sering bertemu secara virtual. Pun di tengah malam.
Ada dua hal yang membuat generasi milenial ogah dekat-dekat dengan kegiatan politik. Fakta itu saya rekam dari pendapat tiga anak saya yang semuanya milenial. Pertama: citra partai politik yang buruk belakangan ini. Kedua: politikus tua tidak serius (dan tulus) untuk memberi ruang kepada kelompok muda. Ketiga: kegiatan partai politik itu nggak ada yang menarik. Main game malah lebih asyik.
Sebenarnya ada faktor keempat. Tapi saya ragu. Jangan-jangan ini emosional dan subjektif: Orang-orang tua cenderung sok tahu. Sukanya hanya melarang ini dan melarang itu. Menyuruh ini dan menyuruh itu. Padahal mereka nggak ngerti apa-apa tentang dunia anak muda hari ini.
Orang tua memang pernah muda. Tiga puluh tahun lalu. Saat gaya hidup masih konvensional. Olok-olok di kalangan milenial: orang-orang tua itu gayanya kolonial. Orang tua dipersepsi sebagai sosok yang otoriter hanya karena faktor umur. Semua keinginan orang tua harus diikuti hanya karena masalah kultur.
Maka kalau tidak ada kata ‘Gelora’, siapa pun akan sepakat: Digifest 2020 merupakan ajang kreativitas anak muda. Karena ada kata ‘Gelora’, saya jadi tahu: Muda banget dan Indonesia banget menjadi what to say di balik poster Partai Gelora.(jto)
Oleh: Joko Intarto
Penulis adalah redaktur tamu Harian DI’s Way