Category: Artikel / Blog

Berakhirnya Pesta Guru Besar, Mengapa Kampus Terlambat Mengambil Sikap?

Partaigelora,id – INILAH situasi dari pergerakan kampus sekarang. Gagal di tingkat mahasiswa, lalu naik ke tingkat Guru Besar. Fenomena apakah ini? Ini pengalaman pribadi saya.

Kaum Kanan

Saya adalah seorang kader yang sering diistilahkan kaum kanan. Saya dibesarkan oleh Masjid kampus di zaman Orde Baru, dan memiliki kegemaran untuk berkeliling dari kampus ke kampus. Tidur di Masjid kampus, untuk kemudian mendiskusikan apa yang terjadi di dalam kampus, termasuk di luar kampus, pada masa penghujung Orde Baru.

Di kalangan kaum kanan, kami punya kode-kode tentang peta kampus, khususnya peta mahasiswa di kampus. Kami disebut juga sebagai anak Mushola, anak-anak yang saban hari bikin pengajian. Memang ini adalah semacam eksklusivisme, tetapi pada dasarnya pada usia seperti itu, adalah sesuatu hal yang lumrah.

Gara-gara eksklusivisme, soal penampilan saja, misalnya, sebagai pengurus Masjid, saya berkali-kali dipanggil pihak Dekanat, bahkan Rektorat, dan juga Ketua Masjid Kampus, untuk diinterogasi karena dianggap sedang menyebarkan aliran garis keras.

Pada waktu itu, di awal tahun 90-an, memang banyak penampilan yang dianggap aneh di dalam kampus. Teman-teman yang cewek mulai berjilbab dan sebagian yang cowok, mulai berjenggot tipis. Lucu sih, saya juga termasuk. Ada juga yang bercelana cingkrang, tapi belum banyak kayak sekarang. Waktu itu mengucap salam saat bertemu orang lain, belumlah terbiasa. Ucapan salam saja bisa dianggap aneh dan mendapat perhatian.

Dalam sistem represif Orde Baru pada waktu itu, semua kecurigaan negara pada penampilan mahasiswa di dalam kampus ditumpahkan kepada Pembantu Dekan III dan Pembantu Rektor III yang mengurusi kemahasiswaan. Tapi saya memang punya kegemaran ngobrol dan berbicara dengan para dosen, sehingga alih-alih menjadi lawan, malah saya bisa berteman.

Kegemaran saya berdialog tidak saja lintas usia, tetapi juga lintas pergerakan. Ini membuat saya bisa membaca seluruh peta di dalam kampus, mulai dari teman-teman yang hanya belajar atau yang disebut kutu buku, para aktivis kampus, sampai pada teman-teman yang tidak ada anasir ideologis atau politik seperti peminat olah raga, seni, Menwa, pencinta lingkungan, dan lain-lain.

Secara umum, teman-teman yang lebih cenderung menjadi mahasiswa yang rajin belajar ini biasanya menjadi sumber massa mengambang, kalau terjadi Pemira (Pemilu Raya) Mahasiswa untuk Senat Mahasiswa atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) istilah saat ini. Sementara, saya sebagai kader kaum kanan terus berdialog dengan seluruh spektrum kaum kanan yang ada. Akibat dialog yang intensif dan panjang, akhirnya saya mulai bergerak ke tengah.

Kaum Kiri

Nah, siapakah kaum kiri? Bagi kami (kaum kanan), semua mahasiswa yang dianggap punya kecenderungan untuk berpikir liberal dan terlihat berani (berani membangun narasi perlawanan, termasuk terhadap kaum kanan), kami sebut saja sebagai kaum kiri atau kelompok kiri.

Setelah keluar dari kampus dan banyak membaca sejarah, saya jadi tahu bahwa politik mahasiswa di dalam kampus hanyalah turunan dari politik aliran yang ada di luar kampus. Mereka yang berada di kanan, langsung maupun tidak, anak cucu dari politik Masyumi di masa lalu. Sementara mereka yang berada di kiri adalah anak cucu dari politik PKI, PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan sebagian PNI.

Sebagaimana kaum kanan, kaum kiri pun terbagi dalam berbagai spektrum yang menggambarkan tingkat kekentalan ideologinya. Yang paling kiri dari kaum kiri adalah yang mengambil gagasan yang sangat radikal seperti anti-agama. Biasanya ini menjadi ‘lawan perang’ secara terbuka dengan anak-anak Masjid atau Mushola.

Sementara yang paling kanan dari kaum kanan adalah mereka yang berjalan dengan ideologi agama yang sangat kental dan puritan. Bermimpi atau bercita-cita menegakkan sistem Islam (anak Tarbiyah dan HTI) dan berikhtiar untuk menjalankan perintah agama pada level pribadi secara menyeluruh alias kaffah.

Tetapi, sejauh tidak ada kompetisi Pemira Mahasiswa, maka kaum kiri dan kanan ini damai-damai saja dan tidak ada pertengkaran berarti, karena tidak ada yang diperebutkan. Namun kalau sudah ada Pemira Mahasiswa, maka ketegangan muncul dan tak jarang memercikkan api.

Memang, mahasiswa sekarang terlihat lebih netral, seperti tidak lagi terbawa oleh pakem politik aliran. Dunia sekarang ini sudah terlalu bebas dan memungkinkan kita melihat kenyataan dengan kacamata yang lebih lebar. Sehingga provokasi terhadap mahasiswa di kampus relatif gagal mengkonsolidasikan hubungan tradisional mereka dengan politik aliran seperti dulu.

Mungkin inilah yang menjelaskan kenapa gerakan mahasiswa tidak tampak memberikan respon yang kuat terhadap provokasi dan kampanye negatif kepada pemerintah. Apalagi pada dasarnya partai politik juga tumbuh tanpa ideologi yang jelas atau tanpa warna. Tidak terlalu jelas apa beda antara satu partai (kelompok) dengan partai (kelompok) lain. Ide-ide besar tidak lagi didiskusikan sehingga mempersulit mereka masuk menggalang kelompok mahasiswa sekarang.

Maka yang terjadi adalah kampus tidak lagi bergerak atau benar-benar digerakkan oleh mahasiswa. Mahasiswa sekarang digerakkan oleh sisa-sisa pergerakan yang dulu terjadi di tingkat dosen dan guru besar yang masih terjangkiti oleh politik aliran. Mereka sebetulnya korban dari politik di zaman Orde Lama dan Orde Baru yang tidak bisa lagi menularkan ideologinya kepada mahasiswa. Tadinya mereka berharap mahasiswa bisa tetap bergerak, sehingga mereka bisa tampil lebih elegan. Harapan mereka salah dan salah juga membaca dunia yang terus berubah.

Profesor Kiri dan Jokowi

Karena itu, dapat dibayangkan, selama Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden dan birokrasi negara dipengaruhi oleh ideologi kiri atau disimbolkan dengan warna merah. Kampus sangat dikangkangi oleh kegiatan dan kebebasan kaum kiri liberal merah ini. Inilah yang kita rasakan lebih kurang delapan tahun belakangan, sampai mereka meninggalkan Jokowi yang tidak mereka duga, justru bergerak ke tengah.

Selama itu, di bawah pengaruh ide kiri merah, kampus begitu ditekan dan terkekang. Bahkan, saya pernah menjadi korban karena tidak boleh berceramah di kampus UGM hanya karena pada waktu itu saya bukan pendukung pemerintah. Meskipun saat itu saya adalah Pimpinan DPR RI yang justru menangani sektor pendidikan. Bukannya disambut secara baik oleh UGM, saya malah ditolak begitu saja tanpa seorang pun pembela.

Kebebasan kampus benar-benar dimatikan. Tidak ada cerita kritis kepada pemerintah. Para guru besar pun seperti menikmati permainan politik untuk mengatur agar aparat-aparat kampus dalam tugas-tugas birokrasi, berada dalam satu komando.

Mereka mencurigai kelompok kanan yang sudah lama bertugas. Sehingga ada banyak sekali orang-orang yang pintar dan potensial disingkirkan dari tugas-tugas penting karena alasan doktrin bahwa kampus telah disusupi oleh kaum radikal kanan.

Saya sendiri yang dulu bertugas sebagai pengawas dunia pendidikan banyak sekali mendengar gerakan mereka ini dengan slogan, “sSya Pancasila Saya Indonesia”. Dengan slogan ini mereka babat habis kelompok-kelompok kritis, sehingga hampir tidak ada lagi para mahasiswa kritis yang keluar dari kampus-kampus besar.

Para dosen begitu tertekan dan memilih diam seribu bahasa. Inilah pesta pora besar kaum kiri dan merah ekstrim, yang menjadikan kampus-kampus, serta semua lembaga pendidikan sebagai cara mengontrol negara atas kebebasan.

Bahkan, mereka juga berhasil mengubah lembaga penelitian yang begitu banyak, sehingga berada dalam satu induk organisasi yang terpusat. Setelah sukses mendirikan lembaga yang dimaksud, mereka mengontrol ideologi negara. Mereka juga merencanakan lahirnya Undang-Undang yang mereka sebut sebagai Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Semua ini tidak lain dan tidak bukan adalah kerja untuk mengekang kebebasan dan keberagaman yang sudah berkembang seperti jamur di musim hujan, dalam tradisi kita berdemokrasi, pasca runtuhnya Orde Baru 1998.

Sekali lagi, pesta kaum kiri merah ini hampir tuntas sampai kemudian kita kembali ke tengah. Kaum kiri merah menjadikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam politik Indonesia yang banyak diwarnai oleh kaum kanan untuk distorsi atau bahkan dihapus. Mereka menganggap itu sebagai membahayakan ideologi negara dan oleh sebab itu, mereka bergerak cepat dengan alasan “menyelamatkan ideologi negara”. Mereka melakukan pengecekkan terhadap kebebasan, terutama di kampus dan lembaga pendidikan serta penelitian.

Dengan menggunakan Undang Undang ITE, kegiatan melawan kebebasan mereka lakukan. Media, termasuk menjadi objek dari serangan mereka dan ketika negara secara langsung atau tidak langsung melakukan eksekusi kepada banyak ulama dan aktivis Islam, para guru besar ini dapat diduga ikut terlibat secara langsung atau tidak langsung, melalui keahliannya.

Pesta Berakhir

Inilah akhir dari rencana mereka untuk menutup segala peluang Indonesia menjadi maju dan mandiri. Karena ideologi kiri merah ini telah bersekutu dengan kekuatan global untuk mengontrol pertumbuhan dan kemajuan Indonesia, serta mengendalikan kegiatan perekonomian dan investasi yang merupakan kepentingan dari negara-negara lain.

Sekarang, pesta pora itu akan berakhir. Sebuah kekuatan nasionalis tengah sedang dalam proses mau memenangkan pertarungan. Mereka tentu tidak rela, jika Indonesia punya jati diri. Mereka tidak mau Indonesia seolah terisolir dari pengaruh kekuatan-kekuatan luar yang selama ini menjadi sponsor mereka.

Kampus yang mulai normal karena tumbuh juga kelompok-kelompok mahasiswa yang berpikir lebih moderat tak lagi bisa diandalkan sebagai kaki tangan pergerakan elit kampus. Oleh sebab itu, mereka terjun sendiri atas nama Universitas. Padahal sesungguhnya mereka adalah pendukung pasangan calon tertentu yang ditinggalkan oleh Presiden Jokowi, setelah Jokowi mulai bergerak ke tengah dan bergabung dalam koalisi rekonsiliasi yang secara sadar dilakukan bersama Prabowo.

Kita semua berharap bahwa ini akan benar-benar berakhir, polarisasi politik aliran yang sudah usang sebagai ideologi yang tidak sehat bagi bangsa kita.

Kepada Pak Prabowo nanti kita titipkan agenda persatuan agar politik aliran yang buta dan tidak sehat ini, kita akhiri. Kita mulai mendesain satu sistem politik baru yang lebih ramah terhadap gagasan dan ideologi Negara Indonesia Pancasila untuk kemajuan Bangsa kita sendiri. Sekian.

Fahri Hamzah

Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia

Ketua Forum Studi Islam FEUI 1994-1995,

Humas SMUI 1996, Litbang SMUI 1997

Deklarator dan Ketua Umum KAMMI 1998

Umat Islam Harus Jadi Pemenang!

Partaigelora.id – KURANG dari sebulan, kita akan memasuki satu hari penentuan tentang bagaimana bangsa ini akan dipimpin lima tahun ke depan. Pertanyaan bagaimana watak kepemimpinan dan pemerintahan berikutnya, pasca Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin, akan terjawab.

Secara teoritis, peristiwa 14 Februari 2024 nanti adalah salah satu dari hari-hari terpenting bangsa Indonesia, termasuk hari-hari terpenting setiap warga negara dan kelompok kelompok masyarakat, suku, agama, dan antar golongan, yang artinya, juga hari-hari terpenting umat Islam yang ada di Indonesia.

Mengapa kita harus mendefinisikan kelompok umat Islam? Karena secara historis dan secara faktual, kelompok yang bernama umat Islam ini telah menjadi salah satu faktor terpenting dalam kita berbangsa dan bernegara, sejak awalnya.

Saya sendiri mendorong pendefinisian ini dalam rangka, justru mengakhiri adanya dikotomi yang tidak rasional antara umat dan bangsa, dan juga antara agama dan negara. Sejak awal, saya mendorong adanya integrasi dari apa yang selama ini dipisahkan, sehingga kita memiliki cara melihat yang positif tentang realitas yang bernama agama dan negara, pada saat yang bersamaan.

Saya merasa bahwa semua dikotomi yang dibuat selama ini telah berlaku secara tidak fair kepada umat Islam. Karena akhirnya, seolah-olah bangsa dan umat ini harus dibenturkan dan berhadap-hadapan, padahal tidak harus, dan memang tidak bisa begitu.

Seolah-olah kalau dia umat, maka dia bukan bangsa. Dan kalau dia bangsa, pastilah bukan umat. Padahal seharusnya dia berlaku sejalan dan seiring dalam satu tarikan napas bahwa yang disebut sebagai umat dan bangsa, ada dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Secara etimologi, kata umat, bangsa, dan rakyat itu berasal dari asal kata dan pengertian yang sama, terutama dalam bahasa Arab. Karena itulah pada dasarnya kita tidak mendikotomikan kata-kata itu untuk tujuan melakukan diskriminasi karena pada dasarnya, maknanya adalah sama.

Prabowo Bukan Umat?

Suatu hari, saat Partai Gelora bertemu dengan Pak Prabowo, beliau menceritakan hasil pertemuannya dengan salah satu partai yang menyebut dirinya Partai Islam. Beliau bertanya tentang bagaimana kelanjutan kerja sama politik yang selama ini dibangun bersama, apakah bisa diteruskan dalam Pilpres tahun 2024?

Tiba-tiba Pak Prabowo mendapatkan penjelasan dari pimpinan tertinggi tersebut bahwa Partai Islam itu kini ikut “pilihan umat”. Pak Prabowo terdiam mendengar penjelasan itu, karena tidak mengerti. Saat bertemu kami (Partai Gelora), Pak Prabowo menceritakan peristiwa itu dan bertanya kepada kami, “apakah saya ini bukan umat?”

Kami sambil sedikit terharu dan menahan getir bahwa ada kelompok yang bisa memperlakukan Pak Prabowo dengan cara diskriminatif seperti itu, seolah-olah Pak Prabowo bukan merupakan bagian, bahkan terlepas, dari umat Islam. Ini sulit dipahami.

Lalu, dalam pertemuan dengan Partai Gelora itu, Ketua Umum Anis Matta menjelaskan kepada Pak Prabowo tentang definisi kata-kata yang tadi saya sebutkan. Bahwa pada dasarnya istilah umat, bangsa, dan rakyat memiliki makna yang sama. Karena itu tidak ada dikotomi, apalagi dengan maksud melakukan diskriminasi.

Saya dulu pernah secara keras memberikan penilaian kepada mereka yang terlalu dangkal menggunakan terminologi dalam agama di ruang publik, dengan maksud membuat diskriminasi antar umat beragama. Padahal Konstitusi dan Undang-undang di negara kita tercinta ini mengatur bahwa tidak ada lagi diskriminasi dalam bentuk apa pun.

Kata-kata yang secara spesifik memiliki makna yang punya implikasi kepada hukum-hukum agama yang berlaku secara privat bagi penganut agama dan kepercayaan masing-masing itu tidak bisa dihilangkan. Karena itu berlaku secara sepihak. Di ruang publik dan di ruang negara yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah hukum publik yang tidak kenal diskriminasi apa pun terhadap seluruh warga negara.

Itulah masalah politik Islam dari waktu ke waktu. Gara-gara sikap yang diskriminatif seperti itulah yang menyebabkan umat Islam gampang dipojokkan untuk menjadi warga negara kelas dua. Karena pada dasarnya mereka sendiri seperti “membuka pintu” bagi adanya diskriminasi terhadap diri mereka sendiri. Lalu dimanfaatkan oleh orang lain dengan maksud lain.

Padahal, ini harus dihentikan dan umat Islam harus peka bahwa kebangsaan adalah identitas di ruang publik yang berlaku bagi siapa saja, apa pun agama, ras, suku, dan golongannya. Mentalitas seperti inilah yang umat Islam harus diambil dengan penuh kepercayaan diri bahwa para pemimpin yang akan kita pilih di ruang publik adalah pemimpin-pemimpin umat dan bangsa sekaligus. Karena pada dasarnya kepemimpinan mereka akan berada di ruang publik dan bukan di ruang privat.

Karena itulah tidak ada alasan untuk tidak melihat Pak Prabowo dari kenyataan bahwa dia adalah pemimpin umat dan pemimpin bangsa sekaligus. Dengan cara seperti itulah umat Islam tetap berada dalam arus utama perubahan politik dan ekonomi dalam negara. Kalau tidak demikian, maka umat Islam mudah sekali dipojokkan atau memojokkan diri di sudut-sudut sejarah yang sepi, bahkan lari dari tanggung jawabnya di ruang publik.

Sebagian dari mereka yang paling ekstrem ada yang berpikir lebih jauh lagi pergi meninggalkan realitas. Bahkan, sebagian lagi digarap untuk menjadi ultra-radikal dan dituduh sebagai teroris serta dipakai oleh intelijen negara asing yang ingin merusak keamanan negara-bangsa yang sudah didirikan oleh para pendiri bangsa kita, termasuk para ulama.

Memobilisasi Kesadaran Baru Umat

Maka, memasuki masa pemilihan 14 Februari 2024 nanti, harus ada mobilisasi kesadaran umat Islam bahwa tidak boleh lagi umat dimanfaatkan oleh kelompok yang mengeksploitir identitas Islam untuk mendukung satu kelompok yang akan kalah, karena pada dasarnya mustahil mentalitas diskriminatif seperti itu bisa menang. Kecil sekali mereka.

Kali ini, umat islam harus memasuki fase kesadaran baru bahwa kita akan memilih pemimpin umat dan bangsa sekaligus dan sejarah telah mempersiapkan pasangan Prabowo-Gibran untuk menjawab tantangan zaman ke depan.

Di sisi lain, kita tahu bahwa Pak Prabowo punya masalah dengan kelompok-kelompok yang pro dengan gagasan kaum globalis. Pak Prabowo ini adalah seorang mantan perwira tinggi militer yang nasionalismenya tidak bisa diragukan lagi oleh siapa pun.

Latar belakang inilah yang menyebabkan Pak Prabowo menjadi sulit diterima oleh sebagian kekuatan asing yang menganggap bahwa kepentingan mereka akan sangat terganggu apabila Pak Prabowo menjadi Presiden.

Padahal mereka juga tahu bahwa Pak Prabowo adalah seseorang yang memiliki latar pergaulan global yang juga luas. Bersekolah di luar negeri sampai pendidikan militer di Amerika Serikat, dan bersahabat dengan banyak orang di luar negeri dari dulu sampai sekarang.

Maka kita, selain mengajak agar pembelahan di kalangan umat Islam tentang siapa yang akan menjadi pemimpin dengan cara mengurangi, bahkan menghilangkan, penggunaan identitas yang sangat primordial dalam Pemilu yang memilih pemimpin di ruang publik ini, tapi juga pada saat yang bersamaan, harus diyakinkan saudara-saudara kita yang bekerja untuk kepentingan asing, bahwa pada dasarnya Pak Prabowo bukan sedang ingin mencari musuh dan ingin menghentikan perdagangan dengan luar negeri. Tetapi Pak Prabowo ingin agar dalam perdagangan itu berlaku asas keadilan bagi umat, bangsa, dan rakyat Indonesia.

Bahwa kalau mereka bebas menjual produk-produk mereka di dalam negeri kita dengan harga yang sangat adil, mengapa kita tidak bisa menjual produk+produk kita yang teknologinya masih rendah dengan harga yang juga adil? Sehingga kita putuskan bahwa produk kita yang umumnya berbahan mentah dikelola dulu di dalam negeri kita. Karena kita memerlukannya sebagai fondasi bagi industri kita di dalam negeri di masa-masa selanjutnya.

Indonesia Harapan Umat Islam Dunia

Akhirnya, saya berharap, kali ini umat Islam dan bangsa Indonesia lebih jernih memandang persoalan ini. Bahwa dalam perspektif kepentingan nasional umat dan bangsa harus sama-sama menjadi pemenang. Bangsa Indonesia menjadi pemenang, artinya umat Islam otomatis juga akan menjadi pemenang.

Kemenangan kita adalah apabila kita bisa meletakkan fondasi kepemimpinan yang kuat untuk menghadapi kecenderungan dunia multipolar yang bisa saja akan sangat mengganggu tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita ke depan.

Kita harus sadar bahwa dalam pertarungan global ini, tidak semua kepentingan bangsa lain dan kepentingan bangsa kita, sama. Kadang-kadang untuk kepentingan bangsa lain kita harus dikorbankan, meskipun kita tidak mau mengorbankan negara lain, tetapi kita tidak boleh juga dilarang untuk membela diri.

Indonesia ini adalah aset umat Islam yang terbaik, bahkan untuk seluruh dunia. Maka menjaganya agar tumbuh menjadi kekuatan besar di dunia yang mempunyai implikasi meningkatnya posisi tawar umat Islam secara utuh dalam isu-isu global adalah sebuah tindakan yang sangat strategis.

Kita tahu bagaimana lemahnya posisi umat Islam dalam konflik di Palestina selama ini. Kita juga tahu bagaimana lemahnya posisi umat Islam pada isu Uyghur dan Rohingya. Semua itu memerlukan sebuah negara yang kuat dan karena itulah, Indonesia adalah salah satu harapan bagi umat Islam di seluruh dunia untuk meningkatkan posisi tawar mereka.

Pak Prabowo yang akan dibantu oleh Mas Gibran adalah pilihan yang tidak banyak. Karena di tangan merekalah transformasi besar bangsa Indonesia akan terjadi dan menjadikan Indonesia sebagai superpower baru seperti mimpi dan cita-cita Partai Gelora Indonesia. Mari kita bersatu dan kita tuntaskan integrasi umat dan bangsa, pada Pemilu 14 Februari yang akan datang.

Mari kita doakan di hari Jumat yang berkah ini.

Fahri Hamzah

Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia

1 Visi, 7 Aksi

Konsep pembangunan ekonomi yang berpusat pada “People, Planet & Profit” bukanlah hal baru.

Tapi dengan cara terjemah Anis Matta, hal yang utopis menjadi lebih mudah kita pahami. Lebih tervisualisasi, lebih teknis-operasional dan mudah dijangkau.

Demi berfokus “planet”, Gelora mengawali “Birukan Bumi” untuk menanam 10 juta pohon. Demi mengembangkan “people”, Gelora berfokus pada perbaikan gizi ibu-anak dengan program Gen-170.

Karena ekonomi kreatif akan menjadi sektor pertumbuhan di masa depan, Gelora meluncurkan SAGARA. Sejuta Gagasan Nusantara dimulai dari kompetisi film pendek, dan akan meluas ke industri kreatif lain.

Itulah konsep pembangunan ekonomi yang akhirnya diberi nama “Geloranomics” : kesejahteraan terdistribusi, memicu kreatifitas dan inovasi, tapi tak meninggalkan bumi.

Akan ada aksi-aksi lain untuk menopang Indonesia kekuatan 5 besar dunia. Tahapannya makin benderang, rutenya mudah dipahami, dan secara teknis bisa kita capai.

Bismillah.

Jakarta, 9/1/22
@endykurniawan

Hari Kesaktian Pancasila Momentum Kemenangan Ideologi Negara dan Kesetiaan pada Bangsa

, , , , , , ,

Partaigelora.id – Kita mengenang peristiwa G30S PKI tahun 1965 sebagai tragedi pengkhinatan kepada bangsa dan ideologi negara. Sebaliknya, kita mengenang Hari Kesaktian Pancasila yang datang sehari sesudahnya sebagai momentum kemenangan ideologi negara dan kesetiaan pada bangsa.

Lebih dari setengah abad setelah peristiwa hitam itu, 46,4% publik masih percaya bahwa ancaman kebangkitan PKI itu nyata. Peristiwa hitam itu memang terlalu kejam dan bengis, sehingga lukanya sangat dalam. Pengkhianatan Berdarah dan Patriotisme Ideologi akan terus menghiasi wajah memori kolektif kita setiap bulan September dan Oktober.

Memori kolektif begitu selalu menjadi rujukan kognitif setiap bangsa ketika mereka membaca peta masa lalunya, tahapan-tahapan penting dalam perjalanan sejarahnya. Memori kolektif itu harus kita rawat, sebab itu membantu kita membaca situasi kita saat ini dan di masa mendatang.

Dalam perspektif kekinian dan masa depan itulah saya melihat ada 3 catatan penting. Pertama, yang paling buruk dalam sejarah ideologi Komunisme global bukan saja bahwa ia gagal bekerja sebagai sistem, tapi juga jejaknya dalam pembunuhan puluhan juta manusia atas nama ideologi. Puluhan juta rakyat Uni Soviet, China, dan negara-negara lain di bawah Sistem Komunisme menjadi menjadi korban kelaparan dan pembantaian. Itulah yang menyebabkan China segera beralih ke Kapitalisme begitu Mao wafat pada 1976. Lalu Uni Soviet runtuh tahun 1991 dan juga segera beralih ke Kapitalisme.

Sebagai ideologi, Komunisme tidak memiliki instrumen metodologi untuk melakukan koreksi dan pembaharuan di dalam dirinya. Itu yang membedakannya secara fundamental dgn Kapitalisme. Ide Sosialisme Pasar yang diperkenalkan Deng Xiaoping 1984 sebenarnya lebih merupakan “siasat bahasa” dan “mekanisme kontrol” yang ditujukan untuk mengelola transisi persuasif menuju Kapitalisme. Pasarnya bekerja dengan cara Kapitalisme, tapi kontrol atas populasi yang sangat besar dilakukan dgn instrumen ideologi Komunisme. Selama 30 tahun pertama pendekatan itu tampak efektif. Tapi kontradiksi sistemiknya dalam satu dekade terakhir ini mulai memperlihatkan tanda-tanda buruk.

Kedua, secara geopolitik peristiwa berdarah G30S PKI tahun 1965 itu merupakan “residu” Perang Dingin (1946-1991). Kita menjadi “korban” dari perang proxy antara Kapitalisme dan Komunisme, antara Blok Barat dan Blok Timur. Kita adalah “collateral damage” dalam tatanan dunia yang bipolar. Kedua blok itu berperang dalam sebuah drama yang tegang, dimana seluruh belahan dunia menjadi panggung, sedemikian tegangnya sampai ke tepi jurang, tapi yang masuk ke dalam jurang adalah kita. Bukan mereka. Sampai salah satunya kalah. Lalu runtuh.

Itu menjelaskan “kelas kasta” kita dalam percaturan geopolitik global. Itu nasib buruk atau takdir sejarah yang selalu menimpa bangsa-bangsa yang lemah dan lembek. Jika memori sejarah kita membuat kita menangis, sebenarnya kelemahan kolektif itulah yang harus kita tangisi. Itu akan membangkitkan harga diri kita sebagai bangsa. Dan lebih penting lagi, juga akan memaksa imajinasi kolektif untuk bekerja secara liar mencari peta jalan menjadi bangsa besar dan kuat. Itu juga akan mendorong kita tidak memberi toleransi moral dan politik untuk menjadikan bangsa dan negara kita sebagai “medan tempur” bagi kekuatan global, terutama di tengah konflik supremasi AS-China. Atau yg lebih buruk lagi, bahwa kita menjadi proxy dari salah satu kekuatan global itu.

Inilah waktunya Indonesia muncul sebagai kekuatan global baru. Itulah amanat Konstitusi kita: ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Dan itulah terjemahan operasional dari falsafah hubungan internasional kita: bebas aktif. Hanya dalam imajinasi masa depan seperti itu, memori sejarah kita bisa menjadi sumber inspirasi yang memaknai semagat keindonesiaan kita, dan memicu gelora kebangkitan kita. Cita-cita sejarah inilah yang seharusnya menjadi sumber nasionalisme baru yang kita butuhkan.

Ketiga, sejarah membuktikan bahwa agama dan keluarga adalah nilai utama bangsa Indonesia. Itu menjelaskan pilihan-pilihan tengah yang selalu diambil bangsa kita. “Watak Tengahan” itu merupakan antitesa dari semua bentuk ekstremisme, baik Kiri maupun Kanan. Watak Tengahan inilah yang sebenarnya terangkum dalam Pancasila sebagai platform kehidupan berbangsa kita. Ini juga yg akan menjadi “ikatan imajiner” yang bisa secara terus menerus mempersatukan kita sebagai bangsa besar, seperti ia mempersatukan menjelang kemerdekaan sebagai bangsa merdeka. Kita memiliki fondasi yang kokoh sebagai negara-bangsa moderen.

Kita tidak boleh membiarkan “dendam sejarah” merusak “mimpi masa depan” kita. Watak Tengahan itu juga memaksa kita tidak membiarkan para pendendam menarik kita ke belakang atau membelokkan arah sejarah masa depan kita. Kita harus fokus utk membalikkan krisis berlarut ini menjadi momentum kebangkitan Indonesia menjadi kekuatan global baru.

Gelorakan semangat Indonesia..!!

Anis Matta
Ketua Umum Gelora Indonesia

Geloranomics, Sebuah Ide Awal

, , ,

Partaigelora.id – Geloranomics secara implisit pernah disampaikan oleh Anis Matta dalam grup diskusi. Ide dasar Geloranomics menurut Anis Matta adalah “Pertumbuhan berorientasi keselamatan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat, berbasis teknologi dengan fokus ekonomi domestik.” Atau dalam diskusi dengan Rocky Gerung beberapa hari yang lalu disederhanakan menjadi dua kata kunci yaitu keadilan lingkungan dan keadilan sosial.

Ada lima kosa kata yang menjadi ide dasar dari Geloranomics jika kita mau bedah agak mendalam;

  1. Pertumbuhan

Pertumbuhan ekonomi secara umum dapat diartikan sebagai proses perubahan yang secara berkesinambungan menuju kondisi yang lebih baik dalam kondisi perekonomian suatu negara. Ekonomi suatu negara sendiri dapat dikatakan bertumbuh jika kegiatan ekonomi masyarakatnya berdampak langsung kepada kenaikan produksi barang dan jasanya.

Pertumbuhan ekonomi menggunakan 3 indikator. Ketiga indikator itu adalah pendapatan per-kapita dan peningkatan pendapatan nasional, jumlah pengangguran lebih kecil ketimbang jumlah tenaga kerjanya, dan menurunnya tingkat kemiskinan.

Analisa-analisa pertumbuhan ini bagian dari geloranomics, cuma perbedaannya adalah bahwa analisa-analisa ini berorientasi pada keselamatan lingkungan.

  1. Berorientasi pada Keselamatan Lingkungan

Dalam ulasan buku Limit to Growth (Club of Rome) yg diterbitkan tahun 1972 didapat salah satu kesimpulan bahwa jika trend pertumbuhan yang pada waktu itu terjadi terus berlanjut maka peradaban manusia akan memasuki kondisi ‘overshoot’, yaitu melampaui batas pertumbuhan yang sanggup diakomodasi oleh planet bumi yang terbatas. Kondisi ini bisa mengakibatkan penurunan drastis kapasitas industri dan populasi manusia. Atau dengan kata lain: bencana peradaban. Sumberdaya manusia terus bertumbuh, tetapi sumberdaya alam terbatas. Atau dalam istilah Anis Matta sumber utama pembahasan trend ekonomi ke depan adalah bumi dan manusia.

Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada keselamatan lingkungan merupakan aspek pertama yang dikembangkan dalam ide awal geloranomics. Presiden Amerika Joe Biden dalam pidatonya beberapa waktu lalu me-mention Indonesia dalam issue keselamatan lingkungan ini;

Menurut Biden apabila pemanasan global terus terjadi maka bisa berdampak pada mencairnya es di kutub sehingga permukaan air laut naik.

Karenanya menurut dia tak menutup kemungkinan bisa saja 10 tahun mendatang Jakarta bisa saja tenggelam.

“Apa yang terjadi di Indonesia jika perkiraannya benar bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena akan tenggelam?” kata Biden.

Issue Jakarta tenggelam ini menemui relevansinya dengan data dari Ketua Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB yang menyampaikan ada 112 kota/kabupaten yang berpotensi tergenang.

Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi laingkungan adalah langkah relevan menghadapi situasi ekonomi saat ini, ditambah situasi saat ini dimana pertumbuhan cenderung melambat karena pandemi. Bahkan dalam diskusinya Anis Matta menyampaikan bahwa jangan-jangan kita tidak memerlukan pertumbuhan untuk mempertahankan sumberdaya yang ada?

  1. Pemberdayaan Masyarakat

Selain berorientasi pada kesalamatan lingkungan, geloranomics juga berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah menciptakan masyarakat berpengetahuan yang menghasilkan teknologi untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran bersama. Ruang-ruang dibuka lebar kepada masyarakat dalam mengakses sumber-sumber ilmu pengetahuan, sumberdaya ekonomi dan juga akses teknologi, maka keadilan sosial untuk kemakmuran bersama akan terwujud.

  1. Teknologi

Kesenjangan pertumbuhan sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam bisa di atasi dengan teknologi. Secara singkat, teknologi dapat diartikan sebagai penerapan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis dalam kehidupan manusia. Teknologi berperan untuk efektifitas dan efisiensi dalam memanfaatkan semua sumberdaya yang ada. Geloranomics sejak awal menjadikan teknologi sebagai instrumen dalam mengatasi keterbatasan sumberdaya alam. Karena manusia memiliki ilmu pengetahuan yang terus berkembang sehingga manusia punya kemampuan mengelola sumberdaya alam secara efektif dan efisien.

  1. Fokus Ekonomi Domestik

Geloranomics bertujuan untuk mencapai kemakmuran bersama. Kemakmuran bersama menuntut ketersediaan sumberdaya pangan bagi manusia dalam mempertahankan hidupnya. Anis Matta menyampaikan bahwa fokus ekonomi domestik adalah dimana kita memiliki cukup semua sumberdaya yang mampu membuat kita bertahan hidup tanpa bantuan orang lain. Dengan kata lain, fokus ekonomi domestik adalah mengoptimalisasi sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi yang kita miliki sendiri demi kemakmuran bersama.

Lima ide awal ini kira-kira yang akan di eksplorasi lebih lanjut oleh para expert dalam merumuskan geloranomics agar lebih relevan dan lebih praktis dalam mewujudkan Indonesia sebagai lima kekuatan besar dunia.

Muhmmad Irfan (Irfan Enjo)

Staf Bidang Narasi DPN Partai Gelora Indonesia, serta Kabid Media dan Komunikasi DPW DKI Jakarta

Geloranomics, Ekowisata dan Kemilau ‘Invisible Export’ Indonesia di Masa Depan

, , ,

Partaigelora.id – Partai Gelora mengusulkan konsep ‘Geloranomic’ sebagai narasi peta jalan baru dalam mengatasi krisis berlarut saat ini. Fokus dari konsep ini adalah mengusung keadilan sosial dan keadilan lingkungan dengan dua tema besar yaitu bumi dan manusia.

Saat ini kedua hal dalam konsep ini tidak berjalan seiringan bahkan bisa dikatakan arahnya sudah melenceng, bisa kita lihat dari banyaknya lingkungan yang rusak akibat eksploitasi berlebihan, serta kondisi ekonomi masyarakat sekitar yang tidak meningkat akibat hasil alam hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta menyatakan kemakmuran kolektif bisa tercapai asalkan kedua unsur pertumbuhan tersebut terpenuhi.

Outputnya harus ada pertemuan yang seimbang antara bumi dan manusia. Pertama bumi adalah rumah kita, sehingga harus kita rawat dan kita jaga. Kedua adalah pemberdayaan masyarakat manusianya sendiri.

Partai Gelora, lanjutnya, mengusulkan satu tema besar lagi dalam konsep ‘Geloranomics’, yakni kesejahteraan sebagai sumber kemakmuran.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kelebihan berlimpah berupa sumber daya alam baik di daratan, udara, maupun perairan, keseluruhan potensi ini merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi serta bisa dijadikan sebagai media pendidikan dan pelestarian lingkungan.

Potensi Ecotourism (dalam bahasa Indonesia: ekowisata) yang dimiliki Indonesia berupa keanekaragaman hayati, keunikan dan keaslian budaya tradisonal, keindahan bentang alam, gejala alam, dan peninggalan sejarah/budaya perlu dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat.

Ecotourism adalah suatu kegiatan yang memanfaatkan sumber daya alam meliputi flora, fauna, iklim, keindahan alam yang dimanfaatkan untuk kepentingan rekreasi, studi dan ilmu pengetahuan dengan mengikutsertakan potensi masyarakat sekitar yang mencakup kebudayaan, adat istiadat, kesenian, makanan, obat-obatan/jamu dan segala aktifitasnya.

Dalam era saat ini, green issue tidak hanya sebagai syarat dalam agenda politik di suatu negara, dan merupakan isu hangat yang diperbincangkan.

Munculnya istilah eco-tourism, back to nature, suistanable tourism dan lain lain, menunjukkan bahwa pariwisata sekarang harus diterima secara politis, bertanggung jawab secara sosial, menguntungkan secara ekonomi dan berwawasan lingkungan.

Invisible export merupakan suatu kegiatan memperoleh devisa tanpa mengirim barang ke luar negeri, akan tetapi kita memeroleh devisa dari pembelanjaan wisatawan (dalam ekonomi pariwisata).

Oleh karena itu, hal yang wajar dan patut diperjuangkan oleh kader Partai Gelora Indonesia untuk berinovasi dan mencari potensi eco-tourism didaerah masing-masing untuk dikembangkan bersama masyarakat, yang mana hal ini nantinya akan berakibat positif bagi peningkatan perekonomian masyarakat.

Secara tidak langsung juga akan meningkatkan kredibilitas kader Partai Gelora Indonesia di mata masyarakat.

Semangat berGelora, Rekrutmen Tanpa Batas 💪💪

NR. Panca Hidhayad
Kabiro Monitoring dan Dukungan Wilayah, Bidang Rekrutmen Anggota DPN Partai Gelora Indonesia

Pseudoscience & Hoax, Tantangan Penanganan Covid-19

, , , , ,

Partaigelora.id – Tapi ada yang meninggal setelah divaksin. Ya, ada, berapa banyak angkanya dibanding yang selamat?

Tapi ada yang menghirup minyak kayu putih sembuh. Ya, sembuh dari apa, Covid19 atau masuk angin?

Tapi mandi uap mengusir virus. Ok, lalu mandi uap rame-rame, kalau ada penyintas yang bergabung apa gak saling menulari di ruang tertutup?

Tapi minum susu beruang menyembuhkan Covid19. Ok, meningkatkan imun sehingga terhindar atau menyembuhkan yang telah terpapar?

Namun harap mahfum, seisi bumi ini memang sedang disergap kebingungan, merespon pandemi dengan gagap. Hipotesis muncul kemudian diralat. Hasil riset A patah karena ada yang terbaru. Sebagian respon untuk menangkal berjalan di Eropa, tapi tidak di tropis kawasan Asia.

Kancah kompetisi sepakbola Eropa dibuka, kerumunan diperbolehkan, masker dilepas, kemudian Eropa didatangi varian Delta. Begitu juga di Amerika Serikat. Konser musik digelar, lalu kasus positif kembali menaik. Tak beda dengan di Wuhan, Tiongkok.

Tapi yang bikin kacau ada yang namanya pseudoscience. Pseudoscience, alias pengetahuan yang samar, atau bukan pengetahuan tapi terasa-terlihat seperti science, mendominasi alam pikir masyarakat. Derajat lebih tinggi adalah hoax yang tak bisa dilacak kebenaran, sumber dan logikanya, menyebar cepat.

Bayangkan untuk meluruskan science vs pseudoscience Indonesia sampai harus ‘kedatangan’ @faheemyounus – dokter di University of Maryland Upper Chesapeake Health, Maryland, mencuit di akun Twitternya dengan bantuan Google Translate supaya dipahami bahasa orang kita.

Salah satu residu dari meluasnya penggunaan media sosial adalah ruahnya berbagai informasi yang kemudian melahirkan masyarakat malas berpikir. Karena saringan tak mampu lagi menahan arus informasi, maka akal sehat – yang awalnya bahkan hanya mencerna informasi pada permukaannya saja – kemudian benar-benar tumpul.

Tapi, sebetulnya, kata James Ball dalam Post Truth (Biteback, 2017), salah satu ciri hoax adalah ‘grabby, easy to understand, easy to share’. Gampang didapat. Gampang dipahami dan gampang dibagikan. Dan kemudian salah. Mengapa? Karena hoax dikreasi memang untuk meng-entertain yang pendek berfikirnya.

Jadi, sensor pertama yang perlu dipunya untuk menyortir hoax adalah kemampuan logika dan bahasa. Mengapa di Indonesia hoax subur? Karena skor Indonesia di kompetensi logical thinking (yang didapat dari kemampuan matematik) dan semantik-linguistik (yang diasah dari kegemaran baca) ada di posisi ke-62 dari 70 negara yang disurvei (Kompas, 12 Januari 2018).

Ketika di negara lain informasi melimpah – terutama menjalar melalui media elektronik – bisa diolah menjadi penerawangan ide, olah data, membaca gejala, membuat program dan proyeksi skenario serta pengambilan keputusan, di Indonesia yang terjadi adalah penumpukan kerak dan kotoran.

Gumpalan informasi ditelan utuh tanpa saringan. Menyumbat dan muncratlah jadi informasi tak penting yang sebagiannya rekayasa dan kebohongan. Kasus Covid19 susah tertangani karena dua virus pseudoscience dan hoax subur di Indonesia.

Diluar ketidaktegasan pemerintah dan lemahnya manajemen penanganan. “Cuma di Indonesia Covid19 ditangani dengan gonta-ganti istilah dan membayar buzzer,” kata Rizal Ramli di acara Gelora Talks.

Endy Kurniawan
Ketua Bidang Rekrutmen Anggoat DPN Partai Gelora Indonesia

Gelora adalah Ruang Besar Berseminya Ide

, , , , ,

Partaigelora.id – Rusaknya Indonesia dengan perilaku korupnya karena menjadikan politik layaknya industri yang menghasilkan keuntungan, bukan menghasilkan gagasan untuk memberikan solusi disetiap persoalan kebangsaan. Partai politik bak kandang ternak yang menghasilkan uang, dan negara adalah sapi perahnya.

Tingkah laku pejabat publik partai yang korup, gaji besar dan tunjangan fasilitas serba mewah, memicu publik mempersepsikan partai adalah mesin penghasil uang, maka pragmatis sekali publik melihat partai. Setiap gerakan partai dimata publik, ada uangnya.

Inilah lingkaran setan yang terus menerus terjadi, partai mencari suara harus dengan uang karena publik memintanya, dan karena partai sudah mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan suara, maka partai memperkerjakan pejabat publiknya sebagai mesin pencetak uang. Koruplah ia…., Dalam bahasa jawa “Golek Balen” nyari uang kembali.

Salah satu cita-cita Partai Gelora lahir, adalah ingin memutus rantai ini, oleh karenanya ia lahir dengan ide bukan dengan uang. Apa modal Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfuz Sidik dan tokoh lain kalau bukan dengan pikirannya. Mereka bukan milyader kaya raya seperti tokoh partai besar lain yang bisa membeli apapun. Sekarang kita lihat, dengan modal pikiran, Partai Gelora sudah ada di seluruh Indonesia.

Ide Arah Baru Indonesia, mewujudkan Indonesia 5 besar dunia, ini adalah ide dasar Partai Gelora. Partai Gelora mengajak anak-anak bangsa yang memiliki cita-cita yang sama, dan ternyata banyak yang menerima ide besar ini, dan alhamdulillah, insyaallah akhir tahun ini anggota partai gelora mencapai 1 juta anggota.

Terus saja sampaikan ide dan gagasan ini, yakinlah masih ada kader-kader bangsa yang penuh dengan kerelaan, tidak melulu karena uang bergabung, ia juga membawa ide-idenya, dan justru ini yang perlu diperbanyak. Generasi lama yang pragmatis akan berganti dengan generasi baru dan Partai Gelora jadi wadahnya. Agar Partai ini benar-benar menjadi partai ruang ide bukan partai pencetak uang.

Untuk itu, Partai Gelora menggencarkan program OK (Orientasi Kepartaian) Partai Gelora, Akademi Pemimpin Indonesia, Akademi Manusia Indonesia dan banyak lagi ruang diskusi. Gelora ingin menciptakan gelombang baru, arah baru, dengan ide dan gagasan membangun bangsa Indonesia. Menciptakan kader-kader bangsa yang bermental pahlawan yang rela berkorban untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan kader partai yang meminta-minta.

Indonesia tidak akan keluar dari ketertinggalan, bila partai sebagai organisasi pencetak kepemimpinan nasional dan rakyat sebagai pemilih, masih memiliki mindset pragmatis, “mencari” bukan memberi.

Melalui Partai Gelora ini, mari kita sudahi lingkaran setan ini.

Arka Atmaja
Humas DPW Partai Gelora Indonesia Jawa Tengah

Banyak Cara Merekrut Anggota

, , , , ,

Partaigelora.id – Prinsip umum rekrutmen anggota menganut asas keterbukaan dan tidak membatasi siapa yang bergabung. Fungsi rekrutmen pada partai Gelora jika dijalankan dengan benar dapat menjadi pintu masuk sekaligus menjadi faktor pendorong bagi praktik demokrasi yang baik di negara Indonesia .

Secara umum kendala rekrutmen anggota adalah rendahnya minat masyarakat menjadi anggota partai, konsekuensi logis dari hal ini adalah perlunya meningkatkan kesadara setiap kader partai Gelora untuk mencari dan mengajak anggota baru dari lingkungan masing-masing. Baik lingkungan keluarga, pekerjaan, hobi, serta lingkungan pergaulan lainnya.

Partai Gelora sudah memberikan fasilitas terkait hal ini dalam bentuk program Member Get Member (MGM) dan Member Get Family (MGF). Semua ini akan efektif jika semua kader partai Gelora ikut melangkah dan menjalankan program ini dengan sukarela dan semangat tinggi untuk perubahan Indonesia menuju lima besar dunia.

Untuk memperoleh anggota, kader partai Gelora bisa melakukan sejumlah kegiatan yang berkaitan dengan proses penjaringan. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan partai kepada seseorang atau kelompok, baik secara ideologis bagi calon anggota yang belum pernah menjadi anggota partai, jalur kerabat kader partai maupun organisasi kepemudaan dan lainnya.

Instrumen penjaringan anggota bisa melalui beberapa media seperti kegiatan sosial, pelatihan UMKM, program sekolah Kejar Paket A-B-C, pengajian dan perkumpulan agama hingga pada media modern seperti media elektronik, media sosial serta media-media lainnya

Oleh karena itu, kader partai Gelora perlu melakukan terobosan terobosan dan inovasi menjaring anggota melalui cara dan kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lingkungan masing-masing. Kunci dari proses rekrutmen anggota adalah inovasi dan kreatifitas dari setiap kader partai baik anggota maupun pengurus partai

Salam Gelora, Rekrutmen Tanpa Batas!!

NR Panca Hidhayad

Ketua Biro Monitoring dan Dukungan Wilayah, BIdang Rekrutmen Anggota DPN Partai Gelora Indonesia

Terbelenggu Perpektif Sendiri

, , , ,

Partaoigelora.id – “Once we know something, we find it hard to imagine what it was like not to know it” (Chip Heath and Dan Heath, Made to Stick, 2007)

Pada tahun 1990, Elizabeth Newton seorang Ph.D. psikologi dari Stanford melakukan riset ‘tappers’ (pengetuk) dan ‘listeners’ (pendengar).

Objek penelitian yang bertugas sebagai tappers menerima daftar 25 lagu yang sangat dikenal seperti “Happy Birthday” dan lainnya.

Dia mengetuk meja sesuai dengan irama lagu dan ‘listeners’ harus menebak judul lagu itu. Hasilnya, dari 120 lagu yang dijadikan eksperimen, hanya 3 yang bisa ditebak. Cuma 2,5% nya.

Bukan disitu menariknya riset Elizabeth. Melainkan pada tingkat keyakinan ‘tappers’ – sebelum riset dimulai – bahwa mereka yakin ‘listeners’ bisa menebak separuh dari lagu.

Hasilnya? Satu dari 40. Mengapa? Ketika ‘tappers’ sedang mengetuk, dia sedang mendengarkan irama dan ketukan di kepalanya. Dan mengira listeners mendengarkan hal yang sama.

Padahal sama sekali tidak. Alih-alih mendengarkan sebuah irama, dia mendengar ketukan tidak jelas, terputus-putus seperti sandi morse. Cobalah eksperimen ini jika ada waktu.

Kepada rekan, anak atau keponakan. Ketuk meja dengan irama lagu “Separuh Nafas”-nya Dewa. Minta mereka tebak lagu apa itu.

Maka kutipan di awal tulisan, “Once we know something, we find it hard to imagine what it was like not to know it” – begitu kita tahu sesuatu, sulit membayangkan bagaimana rasanya (jika) tidak mengetahuinya, relevan dalam banyak situasi.

Dalam konteks menyampaikan pesan kepada audiens di media sosial, kita sering terbelenggu kepada perspektif sendiri.

Tentang apa yang ingin orang ketahui, tentang apa yang orang butuhkan, bahkan tentang apa yang ingin orang lakukan bersama-sama kita (ingat bahwa motif terbesar audiens di media sosial bergabung dengan sebuah akun organisasi adalah karena mereka anggota atau simpatisannya), seringkali berasal dari ‘irama di kepala sendiri’.

Sementara audiens, misalkan satu juta fans di Facebook Fanpage, adalah sekelompok manusia yang memiliki pola perilaku tertentu. Mereka tertarik dengan konten tertentu.

Mereka mendapatkan benefit terbesar dari konten tertentu. Mereka merasa terlibat dengan program tertentu. Mereka bahkan bersedia berkorban jika diajak untuk gerakan tertentu.

Di tengah rumitnya ilmu pemrograman, algoritma dan computer science, nyatanya kita butuh kemampuan menginterpretasi perilaku. 

Teknologi data besar bahkan bisa lebih jauh, memprediksi perilaku. Dengan media sosial, perilaku yang tadinya acak dan sulit diraba, sekarang ada dalam satu wadah untuk diteliti.

Maka terlalu egois jika organisasi hanya menggunakan ‘irama di kepalanya’ saat membuat program, sementara di media sosial yang mereka kelola, dengan mempelajari dan menganalisisnya, mereka bisa menciptakan sesuatu yang lebih tepat dan diinginkan audiens.

Jangan menjadikan media sosial untuk mentransfer agenda, kemauan dan pesan organisasi saja. Dengar dan lihat mereka, maka benefit organisasi dapat tercapai dengan lebih efektif.

Endy Kurniawan
Ketua Bidang Rekruitmen Anggota DPN Partai Gelora Indonesia

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X