Category: Artikel / Blog

Warisan untuk Generasi Muda Indonesia

, ,

Kelahiran Partai Gelora Indonesia ditengah krisis pandemi Covid-19 ini yang berdampak secara global seperti sebuah perjudian besar. Partai yang dimotori Anis Matta dan Fahri Hamzah ini membawa ideologi Islam dan Pancasila sebagai brand Partai dengan menawarkan ide dan gagasan “Indonesia 5 kekuatan dunia”.

Saat artikel ini ditulis, Indonesia sedang mengalami resesi ekonomi sebagai salah satu dampak pandemic Covid-19. Selain itu riuh ricuh dengan UU Omnimbus Law yang disahkan DPR dan di tolak masyarakat Indonesia masih hangat saat ini. Ditambah lagi, tak perlu di pungkiri dan di tutup-tutupi Indonesia terpaksa larut dalam perang dingin yang antar police world Amerika dan negeri penguasa baru China.

Seperti hal lelucon yang bisa membuat kita tertawa geli ditengah situasi Indonesia saat ini dengan gimmick marketing ide besar bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan 5 besar dunia. Baiklah, tenangkan diri kalian terlebih dahulu, tarik nafas dalam-dalam karna kita mau masuk ke lorong waktu.

Sebelum Indonesia menjadi sebuah Negara kita melewati dimensi masa dimana saat itu penduduk wilayah tenggara Asia dengan berbatasan benua Australia dan semenanjung Malaya disebut dengan Nusantara. Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.

Wafa Afifah
Generasi Muda Partai Gelora Indonesia

Lubis

Achmad Rosyadi Lubis, namanya. Nama marganya yang justru beken sebagai sapaan oleh dan di kalangan kawan-kawannya. Termasuk mereka yang baru mengenalnya, semisal saya. Ini agak ganjil lantaran saya lebih mengenal nama depan macam Mochtar dan Amarzan (dua jurnalis kawakan), Zulkifli “Bapak Intelijen RI”, Ansyari pemain bola Pelita Jaya, hingga Uni Zulfiani. Tapi tidak dengan sosok ini. Nama depan dan tengahnya tenggelam oleh marga.

Hanya sekali bersua langsung. Tahun lalu saat ia tandang ke Yogyakarta. Obrolan ketika ia telah letih di temaram malam. Saya suai ia selepas “membakar” manusia Arah Baru.

Tapi, interaksi dengan teks dan legasinya yang banyak diutarakan kawan-kawannya, yang sebagian juga saya kenali, tandaskan satu bab: Bang Lubis memang spesial. Soal jam terbang ketulusan dalam dakwah, cukup saya saksama dari tulisan yang pernah dikirimkan ketika Poestaka Rembug Kopi menerbitkan Ketika Gelisah Mengubah Arah (2019). Isinya, apa yang ia tulis setali dengan kesaksian orang-orang yang mengenalnya.

Ia pernah safar bersama keluarganya. Tahun lalu ia unggah agenda inspiratif itu. Anjangsana ke Jawa ke kantong-kantong pengetahuan dan tokoh. Mulazamah sejenak sembari sabatikal di sela kesibukan. Kota demi kota disusuri dengan kendaraan umum seperti kereta dan bus. Bersahaja, namun bukan pelesir biasa di sebalik itu.

Sebagai pengajak kepengasuhan di banyak majelis, sepadan dan sejalan dengan perkataan ihwal menghargai ilmu. Dan itu diturunkan dalam praktik nyata yang kelak berwujud hasab juga sanad pengetahuan ke nasab dirinya generasi bergenerasi kelak.

Saya pikir safar ilmiahnya tak terpisahkan dari etos Melayu Deli tempat asalnya. Pun ketika dia bermukim di Bali, jejak itu tak pudar. Dengan skala yang dipunyai, ia manusia kosmopolit buat ukurannya. Paling tidak bagi keluarganya dalam meluaskan minda dan cakrawala.

Beberapa hari belakangan, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII karya apik Azyumardi Azra seperti ingin dijamah lagi oleh mata dan pikiran. Semasih bab 1 didaras, kabar dari Pulau Pura mengumandang di pesan. Ini tak ada sebab akibat, selain sebuah bagian dari edaran kehendak-Nya. Tak ada tendensi apalagi menjuruskan logika pada post hoc ergo propter hoc.

Balik ke kabar selepas dhuha tadi. Pembaca status ini tentu paham ke mana arahnya. Ya, Bang Lubis tiada. Dalam sakit yang insya Allah jadi peringan hisabnya di akhirat kelak.

Teks Jaringan Ulama langsung terkoneksi dengan perilaku Bang Lubis. Dia, dalam arti prolifik, memang bukan alim dalam bahasan Azra. Tapi, jalan safar bersama keluarganya dalam menimba pengetahuan dan jajaring ukhuwah, sungguh serpihan nyata membina koneksi keilmuan kiwari.

Legasi Bang Lubis inilah yang kiranya pantas kita, atau setidaknya saya, kenang. Tentu bersama kebaikan ia yang lain. Semoga Allah menerima amal-amal almarhum, dan menggantikan yang lebih baik pada keluarganya.

Yusuf Maulana

1 Tahun Gelora: Tantangan Integrasi Narasi dan Aksi

Untuk menjadi besar, masalah terbesar GELORA adalah persoalan dalam diri. Pertama soal mengartikulasi ide menjadi tindakan. Wajar ketika organisasi berdiri maka perekatnya adalah prinsip, idiologi dan narasi. Namun, terlalu lama menterjemahkannya menjadi aksi akan membuat organisasi jadi terlihat sedang bermimpi. Kedua soal hambatan untuk tumbuh karena hubungan antara ‘present capacity & future capabilities’ dengan gangguan historis. Tidak perlu dijelaskan bahwa sebagian penggerak GELORA adalah organisatoris dan aktivis yang terusir dari sebuah partai. Seringkali cara berpikir dan bersikapnya tampak seperti sekumpulan prajurit terluka yang membawa beban dendam. Begitu dalam luka itu dan begitu kuat bayang-bayang masa lalu sehingga ada kekhawatiran mengalihkan fokus, mimpi besar yang sedang dituju.

Di lingkungan global yang makin terakselerasi dan tanpa batas, organisasi seperti ormas dan parpol menemui persoalan yang makin kompleks. Di barat banyak contoh gagal. Godaan yang muncul kemudian adalah kembali ke nostalgi pemikiran dan gerakan masa lalu (contoh: gerakan ‘millenial sosialis’ atau fundamentalisme Islam yang marak) atau sebuah tawaran baru yang segar dan terbuka. Menurut Thomas L. Friedman di bukunya “Thank You for Being Late’, pada bagian “Mother Nature as Political Mentor’ ada tiga persoalan yang harus diatasi organisasi massa (dan politik) kini. Pertama adalah entry barrier bagi generasi baru yang makin tipis untuk bergabung dalam gerakan. Generasi baru ini masuk ke mid-class economy dalam keadaan lebih mudah. Mereka, karena banyak sebab misalnya ketersediaan lapangan kerja & peluang membuka usaha yang lebih baik, tidak perlu bekerja sekeras generasi sebelumnya untuk menikmati hasil yang sama. Generasi ini disebut ‘malas manja’, sebuah ‘kaum rebahan’.

Yang kedua adalah kesiapan organisasi menerima pluralisme. Di barat persoalannya adalah gelombang imigran dan pengungsi. Di negara seperti Indonesia persoalannya adalah latar belakang ras, agama dan kebudayaan yang makin tak terlacak. Terlalu banyak ‘global citizen’ di angkatan muda saat ini dengan ragam pemikiran. Apakah mereka bisa mendapatkan tempat? Ketiga adalah level ekonomi antara daerah rural dan urban menjadi dekat jaraknya. Desa pun berkurang dan bergerak menjadi kota. Apa tawaran organisasi untuk mengubah struktur ekonomi dan budaya untuk memperbaiki nasib masyarakatnya? Untuk diketahui, dianggap akseleratif dan konstruktif, En ‘Marche dipilih di Perancis karena membawa harapan baru dan menjawab 3 persoalan diatas.

Setelah deklarasi gegap gempita GELORA di sebagian besar provinsi, pengurusnya harus membalik perhatian. Menemukenali ‘pain points’ dan segera memberikan obat penawar untuk arah baru negerinya. Dengan kombinasi sumber daya ‘para senior yang berpengalaman’ dan ‘anak muda yang bertenaga’ mestinya kerja besar segera bisa dimulai. Tapi anak muda punya persoalannya sendiri. Dan Wagner berusia 24 tahun ketika memimpin kampanye nasional Barack Obama “Get Out The Vote”. Pada periode Obama kedua, Wagner di usia 28 tahun menjadi kepala bidang analisis data. Dia bilang, “I think the US is very special in culture of appreciation for merit and the best idea. The serious problem is the young generation don’t integrate those ideas into what they’re doing.” (The Industries of Future, Alec Ross, 2016). GELORA tidak kehilangan ide dan imajinasi. Persoalan GELORA adalah menterjemahkan “Menjadi 5 besar dunia” menjadi kerja-kerja.

Endy Kurniawan
Wasekjen Bidang Inovasi Budaya & Hubungan Lembaga

Dirgahayu yang Kurindukan

,

Pagi hari itu di teras rumah seperti biasanya, kulihat Kakek duduk di kursi kayu favoritnya. Rutinitas yang dilakukannya pasca Nenek meninggal; meratapi Sang Kekasih yang pergi lebih dahulu. Pun genap sudah dua tahun berlalu, masih saja abadi rekam jejak cinta di benaknya.

Akan tetapi, ada yang berbeda dari pemilik tubuh renta itu – matanya terlampau membelalak, diikuti dengan mulutnya yang menganga. Setelahnya, air mata membasahi sekujur pipi yang kusut sebab usia. Sudah cukup bukti, betapa rasa kaget menyelimuti raganya. Cemas dan khawatir dengan kesehatan Kakek, aku pun memberanikan diri dan bertanya apa yang sedang dipikirkannya. Kakek pun menjawab bahwa ia sedang sedih sekaligus rindu.

Sebab di ulang tahunnya yang menuju 1 abad – kata Kakek – menjalani kehidupan seorang diri. Tidak ada nenek yang menemani. Sekarang yang tersisa hanyalah kerinduan mendalam.

Rindu yang beragam, baik itu suka maupun duka. Baik itu cinta atau benci. Baik itu di saat senang ataupun di kala sulit. Semua ekspresi – ekspresi itu turut mewarnai kisah asmara Kakek dan Nenek yang terbukti melanggeng, hingga maut memisahkan keduanya. 

Yang tak lain memperlihatkanku, bahwa (perjuangan) masa lalu Kakek adalah, anak-anak tangga yang membentuk suatu tangga yang berukuran tinggi. Saat kau berhasil menapaki anak tangga tertinggi dan menengok ke belakang, akan terlihat aneka memoria yang sudah kusebutkan tadi. Tak ayal membuat diri rindu dengan romantisme masa lampau.

Sama halnya dengan perjuangan memperoleh kemerdekaan Indonesia. Para pemuda kala itu – turut menapaki anak tangga bangsa – yang merupakan dambaan mereka. Hidup di saat Indonesia dijajah – tepatnya di antara 350 tahun itu – tentu bukan perkara yang mudah dihadapi. Ya, mereka telah melewati banyak suka dan duka; cinta dan benci; senang dan sulit.

Agung Pribadi dalam bukunya yang berjudul Gara – Gara Islam (2019), mengisahkan betapa gigihnya pejuangan para pahlawan. Mereka – pahlawan – pahlawan itu – mengupayakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, yang mana bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364. Bulan yang dianggap sulit bagi kita, ternyata dijadikan pahlawan sebagai momentum perjuangan.

Ketika berada di anak tangga tertinggi, riuh perjuangan itu sekarang hanyalah sebatas abu masa lalu. Ya, tunggulah angin berhembus, maka ia akan menghilang. Kini, yang tersisa hanya butiran-butiran memori.

Dengan kata lain, segala perjuangan bisa saja terekam kuat di ingatan, apabila butiran-butiran itu digenggam dengan tepat dan erat. Yah, walaupun mungkin banyak bagian yang terlupakan.

Inilah yang membuat Kakek semakin sedih. Ia begitu ketakutan dengan kemungkinan kenangan bersama Nenek akan terlupakan. Tak mau dirinya melupakan fase perjuangan mereka berdua, yang tegar menghadapi cacian tentara Jepang. Bukan berarti Kakek mengidap Stockholm Syndrome lho.

Secara tidak langsung, kisah Sang Kakek menjadi pukulan, bahkan tantangan terbesar untuk pemuda sekarang. Mari kita bayangkan anak-anak tangga itu kembali. Nasib pemuda sekarang jelas berbeda dengan pemuda dahulu, sebab pemuda sekarang dilahirkan saat Indonesia ada di posisi anak tangga teratas. Artinya, pemuda-pemuda ini tidak bisa merindukan perjuangan mengupayakan kemerdekaan.

Lantas apa akibatnya? Ketika membaca buku sejarah, belum tentu ghirah kemerdekaan akan terpatri di dalam kalbu. Pun mereka yang menghayati dan membayangkan perjuangan kemerdekaan melalui buku sejarah, belum terjamin mampu merasakan kemerdekaan secara paripurna.

Sekali lagi, apa akibatnya? Kemungkinan terburuknya, akan tercipta generasi pemalas. Malas bergerak, malas berpikir, dan malas apapun itu bentuknya. Sebab pemuda sekarang “dimanja” oleh pemuda dahulu. Kemewahan yang pemuda sekarang peroleh, merupakan warisan dari pemuda dahulu. Yang sayangnya privilese ini – ditambah dengan teknologi yang kian memabukkan – membuat pemuda sekarang menjadi pemalas.

Ah, sudah banyak terdengar di telinga kita, bagaimana jumlah pengangguran cukup banyak diisi oleh pemuda sekarang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menyumbang tingkat Pengangguran sebanyak 8,49?ri 6.88 juta orang. Hal ini setidaknya menjadi contoh, bahwa pemuda sekarang belum terlalu produktif dalam mengasah kompetensi dan ketrampilan. 

Padahal kalau tuan dan puan ingin tahu, perjuangan kemerdekaan belumlah berakhir. Jika dahulu kita berjuang untuk memperoleh kemerdekaan, sekarang kita berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan.

Penjajahan tidak harus dalam bentuk mencaplok wilayah secara semena-mena. Memperbudak, memenjarakan, membunuh, atau bentuk-bentuk keji lainnya. Melainkan, penjajahan bisa bermanifestasi dalam bentuk lain. Mulai dari doktrinisasi ideologi luar/asing, budaya materialisme atau konsumerisme, hutang negara, hingga lain-lainnya. Yang sekarang kalau kalian tahu, sudah menjadi problematika sehari-hari bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, peran pemuda sekarang sangatlah dibutuhkan. Mereka harus disiapkan, bahkan sedapat mungkin diakselerasi seiring pertumbuhan digital, agar menjadi sumber daya manusia (SDM) yang cakap. Jika sudah terbentuk seluruh pemuda yang produktif, tidak akan ada lagi yang namanya rasa rendah diri. Justru sebaliknya, Indonesia yang di masa depan diisi oleh pemuda sekarang, mampu membawa negeri ini ke posisi lima kekuatan dunia.

Dengan demikian, anak tangga yang kita tapaki bukanlah yang terakhir. Ingatlah, bahwa tidak ada yang namanya akhir dalam perjuangan. Setelah anak tangga ini, tentu akan ada anak-anak tangga berikutnya.

Yang dalam menaikinya, tentu perjuangan yang tercatat tidaklah sedikit. Dan hal-hal ini akan menjadi memoria yang tidak kalah serunya dengan milik Sang Kakek. Memoria yang dulu dengan memoria yang ini, akan membentuk kesatuan memori, yang menandakan panjangnya umur perjuangan. Maka, kuucapkan: Dirgahayu Kakek! Dirgahayu kemerdekaan! Dirgahayu, wahai pemuda-pemuda!

Oleh Habibah Auni – Pemenang Lomba Karya Tulis Gelora Kemerdekaan Periode 3 (terakhir)

Makna 75 Tahun Kemeredakaan, Menata Arah Indonesia di Masa Depan

, , ,

(Sebuah pikiran sederhana dari anak pinggiran untuk Indonesia di masa depan)

KEMERDEKAAN yang kita raih adalah anugerah terindah dari Allah SWT untuk bangsa ini. Lepasnya bangsa ini dari cengkeraman penjajah tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kemerdekaan yang diraih penuh cucuran keringat, tetesan darah, ribuan nyawa yang tak bisa dibayar dengan apapun. Berapa banyak para pejuang yang gugur, berapa banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya, berapa banyak wanita yang kehilangan suaminya demi membela tanah air ini lepas dari penjajahan. Sebuah pengorbanan yang luar biasa, dipertaruhkan untuk satu tujuan yakni menghirup udara kebahagian dari penjajahan.

Terbebasnya bangsa ini dari penjajahan harapannya menjadi pelecut semangat dan perlu semakin banyak generasi muda yang merasakan secara langsung makna kemerdekaan ini agar bisa meneladani generasi pejuang sebelumnya. Semangat perjuangan ini harus terus berlanjut dan membara hingga generasi mendatang.

Mewariskan dan menanamkan berbagai semangat tersebut juga merupakan cara untuk memaknai kemerdekaan. Memaknai kemerdekaan adalah mengaktualisasikan diri kita pada nilai-nilai kebaikan seperti keikhlasan dalam berjuang, kegigihan, semangat pantang menyerah dalam mencapai sebuah tujuan, serta semangat kegotong royongan dalam realitas kehidupan sosial.
Sebagai muslim, di hari kemerdekaan ini kalau kita cermati tidaklah cukup bagi kita merayakan hari kemerdekaan ini sebatas dengan mengadakan lomba-lomba saja. Tetapi, semestinya umat Islam lebih banyak menebar manfaat dan kebaikan kepada sesama. Bagi umat Islam, anugerah kemerdekaan ini seharusnya dijadikan momentum untuk menghidupkan rasa syukur kita kepada Allah SWT.

Syukur terhadap kemerdekaan merupakan segala bentuk aktivitas seorang hamba dalam rangka mendayagunakan semua nikmat yang Allah berikan kepadanya menuju tujuan manusia itu diciptakan yaitu beribadah kepada Allah SWT. Indikasi dari rasa syukur yang mendalam sudah sepatutnya dibuktikan dengan hal nyata di dalam kehidupan sehari-hari.

Ungkapan rasa syukur terhadap perjuangan para pahlawan adalah bagian rasa syukur kita juga kepada Allah. Ini selaras dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi:
مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ
Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti dia sama saja tidak berterima kasih kepada Allah SWT. (HR. Ahmad)

Paling tidak ada dua cara menghargai jasa para pahlawan. Pertama, mendoakan kepada Allah agar mereka yang saat ini sudah wafat mendapatkan balasan kenikmatan dari Allah SWT. Kedua, melanjutkan perjuangan mereka, yaitu mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan cara menebar manfaat dan kebaikan demi kemajuan bangsa yang kita cintai ini. Selain itu sebagai warga negara, kita adalah menjadi perawi peradaban berikutnya, oleh sebab itu perlu proposal hidup agar hidup kita selama di dunia ini bermakna dan mendapat keberkahan dari Allah SWT.

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, selalu dipuja-puja bangsa. Indonesia merupakan negara yang kaya dan memiliki keindahan yang luar biasa. Namun, ada beberapa pesan dan harapan nih untuk seluruh masyarakat Indonesia, pesan dan harapan ini merupakan keresahan dan keinginan yang diharapkan dapat menjadikan Indonesia menjadi lebih baik dan lebih maju di masa yang akan datang. Bersama-sama berpegang tangan untuk mewujudkan Indonesia maju dan Indonesia jaya. Hal itu dikarenakan mewujudkan mimpi Indonesia adalah tugas kita bersama, seluruh masyarakat Indonesia bukan hanya tugas satu atau dua orang saja.

Ada beberapa pesan dan harapan bersama yang perlu kita capai agar bangsa kita ini senantiasa dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Yaitu :

  1. Pada Bidang Ekonomi
    Pemerataan kesejahteraan adalah harapan semua warga Indonesia. Bisa diikatakan orang tidak akan mampu berpikir kalau perutnya masih lapar. Perlu diisi dulu perutnya maka akan mudah untuk bertenaga dan berpikir. Demikian juga sebuah negara, sektor ekonomi adalah jantung dari dari masyarakat karena menyangkut isi perut dan kesejahteraan warga negara. Dalam hal ekonomi kita bisa belajar pada bangsa Jepang bagaimana mereka menggerakkan roda perekonomian mereka yakni dengan menghidupkan UMKM sektor perekonomian rumah tangga. Pemerintah bisa lebih optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui pemberdayaan UMKM mentransformasikan UMKM ke arah ekspor menjadi wajib dan UMKM juga harus bergerak untuk memproduksi barang-barang substitusi impor, yang selama ini memberatkan neraca perdagangan nasional. Melalui pemberdayaan sektor UMKM ini mampu menjamah hasrat kemajuan pada lapisan terkecil warga masyarakat. Sehingga angka kemiskinan semakin menurun dan lapangan kerja rakyat kecil semakin luas.
  2. Pada Bidang Pendidikan
    Pada bidang pendidikan, tampaknya tidak akan pernah bosan kita katakan. Pendidikan merupakan pintu gerbang bagi para penerus bangsa untuk memeroleh berbagai ilmu dan pelajaran yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesenjangan sosial yang terjadi di dalam dunia pendidikan Indonesia. Salah satunya adalah perbedaan antara fasilitas penunjang pendidikan di pusat kota dan daerah. Masih banyak sekolah-sekolah yang masih jauh dari kata layak dan nyaman. Contohnya saja di masa Pandemi Covid 19 ini. Banyak hambatan dan tantangan yang perlu kita cari solusinya bersama. Akses internet, quota, jarak tempuh siswa yang jauh, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan mahalnya biaya pendidikan. Akan sangat baik jika memang anak-anak negeri ini dapat mengenyam pendidikan tanpa harus khawatir mengenai fasilitasnya, sehingga nantinya ilmu yang mereka dapatkan menjadi bekal untuk membuat hidupnya menjadi lebih baik. Menyambung tongkat estafet para pejuang negeri ini untuk kehidupan yang lebih maju dan bermartabat. Pada bidang pendidikan ini sangat erat kaitannya dengan ekonomi, karena kalau pendapatan kita rendah maka pembiayaan pada sektor pendidikan juga akan sedikit.
  3. Pada Bidang Kesehatan
    Akses layanan kesehatan yang cepat, murah dan baik harapannya juga dirasakan oleh semua warga. Peningkatan kualitas kesehatan dengan baik akan tercipta, jika fasilitas dan akses kesehatan terpenuhi serta persebarannya merata. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat harus melibatkan seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat 3T (tertinggal, terdepan, terluar), dengan perhatian yang diberikan merata kepada setiap provinsi, diharapkan mampu mengurangi permasalahan kesehatan di seluruh Indonesia. Selain itu pemahaman kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hidup sehat, apalagi dalam masa Pandemi Covid 19 ini, perlu upaya berbagai pihak untuk menggaungkan pola hidup sehat sehingga menjadi sebuah kesadaran bersama. Mengembangkan obat-obatan herbal dan alami dari bahan baku alam Indonesia perlu digalakkan sehingga bisa lebih ekonomis dan kecil efek samping. Selain itu juga kita harus peka dan waspada terhadap setiap jenis vaksin yang masuk dari luar negara kita ke dalam negara kita, karena boleh jadi itu bagian dari strategic war dari negara lain untuk menghancurkan negara kita.
  4. Pada Bidang Pertahanan dan Keamanan
    Dalam hal pertahanan dan keamanan, harapannya negara kita jangan sampai diintervensi oleh bangsa lain. Baik dari sektor udara, darat maupun laut. Peningkatan sistem pertahanan dan keamanan, memang harus melibatkan seluruh elemen kekuatan bangsa ini meliputi tenaga manusia (manpower), industri dan material industri, ilmu pengetahuan dan teknologi. Akses dan fasilitas di daerah perbatasan adalah bagian hal yang menjadi perhatian serius bersama. Bagian kemaritiman, daerah lautan yang begitu luas perlu stategi untuk menjangkaunya agar bisa lebih mudah terkontrol. Selain itu kejelasan daerah teritorial kelautan kita harus kita jaga dengan cermat. Letakkan di sana pertahanan berlapis untuk menjaga keutuhan kekayaan alam, sumber daya kelautan dan tanah air kita. Pemberlakuan pajak pada daerah strategis di selat-selat yang berbatasan langsung dengan wilayah internasional yang di lalui oleh negara lain dan itu bisa menjadi tambahan pemasukan bagi negara kita sehingga terjadi peningkatan pendapatan devisa serta negara kita berwibawa di mata dunia.
  5. Pada Bidang Teknologi
    Penggunaan internet memang sudah bukan hal yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Qouta internet sudah menjadi kebutuhan wajib. Realitas sekarang ini setiap orang selain handphone, charger, power bank dan colokan adalah semacam menu wajib yang harus ada di dalam tas mereka masing-masing.
    Pada era digital sekarang ini hampir dipastikan akan sangat menyulitkan jika tidak ada internet. Seluruh aktifitas yang ada kini bisa didapatkan dengan lebih mudah melalui satu ketukan saja di perangkat elektronik yakni handphone. Mulai dari komunikasi, transportasi, ekonomi, kesehatan, berbagai macam jenis transaksi dan masih banyak lagi yang lainnya. Contoh permasalahan yang kita hadapi pada masa pandemic Covid 19 ini, hampir semua sekolah melakukan pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran tersebut tentunya memerlukan quota internet dan jaringan yang harus memadai. Mungkin yang kita rasakan akses internet dan layanan sinyal jaringan yang baik perlu pemerataan yang dirasakan oleh masyarakat sampai ke semua pelosok negeri. Oleh karena itu, hal ini menjadi pikiran bersama dari sejak dini perlu terus ditingkatkan berbagai kreativitas serta diperlukan wadah untuk ide-ide kreatif dari anak bangsa kita karena jika teknologi dapat dikembangkan dengan baik dan optimal. Maka teknologi betul-betul akan berpengaruh lebih besar dan memberikan dampak positif terhadap kemajuan bangsa kita.

Mengutip pesan dari Jenderal Soedirman :
“Hendaknya perjuangan kita harus kita dasarkan pada kesucian. Kami percaya bahwa perjuangan yang suci itu senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan.”

Sebuah refleksi bersama Surah Al Bayyinah ayat kelima agar kita senantiasa memurnikan niat kita dalam beribadah, beraktifitas dan berjuang untuk mencari keridhaan Allah SWT. Entah itu dia sebagai rakyat, pengusaha, pejabat dan lain-lain. Karena dari situ akan datang pertolongan Allah SWT.

Oleh: Akhmad Muzakir – Pemenang Lomba Karya Tulis Kemerdekaan Periode-2

Mengapa Kita Kalah Melawan Hoax

Salah satu residu dari meluasnya penggunaan media sosial adalah ruahnya berbagai informasi yang kemudian melahirkan generasi malas berpikir. Karena saringan tak mampu lagi menahan arus informasi, maka akal sehat – yang awalnya bahkan hanya mencerna informasi pada permukaannya saja – kemudian benar-benar tumpul. Bayangkan yang harus pengguna Facebook lakukan jika harus mengikuti anjuran Divisi Humas Polri: “Saring sebelum sharing” ketika membaca 100 unggahan di tautan laman Facebook miliknya dalam sehari. Apakah dia harus melakukan cek silang a la redaktur dengan berbagai laman media lainnya, atau dia harus selalu menanyakan : “Apakah ini benar, siapa sumbernya, dari mana datanya, apakah valid?” dan lainnya kepada pengunggah? Seratus kali per hari untuk setiap unggahan yang dia baca? Yang bener aja.

Tapi, sebetulnya, kata James Ball dalam Post Truth (Biteback, 2017), salah satu ciri hoax adalah ‘grabby, easy to understand, easy to share’. Gampang didapat. Gampang dipahami dan gampang dibagikan. Dan kemudian salah. Mengapa? Karena hoax dikreasi memang untuk meng-entertain yang pendek berfikirnya. Siapa mereka? Publik yang malas baca, yang diperparah lagi, pemalas baca yang menikmati penumpulan akal kronis di media sosial dan platform berbagi seperti chat messenger. Jadi, sensor pertama yang perlu dipunya untuk menyortir hoaks adalah kemampuan logika dan bahasa. Mengapa di Indonesia hoax subur? Karena skor Indonesia di kompetensi logical thinking (yang didapat dari kemampuan matematik) dan semantik-linguistik (yang diasah dari kegemaran baca) ada di posisi ke-62 dari 70 negara yang disurvei (Ari Kuncoro, Guru Besar FEB UI, Kompas, 12 Januari 2018).

Ketika di negara lain informasi melimpah – terutama menjalar melalui media elektronik – bisa diolah menjadi penerawangan ide, olah data, membaca gejala, membuat program dan proyeksi skenario serta pengambilan keputusan, di Indonesia yang terjadi adalah penumpukan kerak dan kotoran. Menyumbat dan muncratlah jadi informasi tak penting yang sebagiannya rekayasa dan kebohongan. Sebagai informasi, pengguna internet di Indonesia ‘mantengin’ gawai rata-rata 8 jam 51 menit per hari (!). Data Hootsuite Januari 2018 itu mencatat Indonesia di peringkat ke 4 dunia, hanya kalah oleh Thailand, Filipina dan Brazil. Sementara Singapura hanya 7 jam per hari, USA hanya 6:30 dan Jepang 4:12. Negara-negara maju lain dibawah 5 jam. Publik yang berjam-jam di depan gawai ini kemudian dengan mudahnya jadi target. Apa misalnya? Warganet bisa menjadi objek pembodohan politik dan iklan komersial.

Pada 23 Juni 2016, jam 10 malam, masyarakat Inggris masih meyakini bahwa negerinya tak akan keluar dari Uni Eropa. Opsi Remain vs Leave (Brexit) masih ketat dengan posisi 52:48. Polling di semua media utama dan media sosial membagikan hasil serupa. Esoknya menjelang subuh, Poundsterling jatuh dan bursa saham Inggris rontok demi opsi Leave yang unggul. Belakangan, setelah investigasi, perekayasa opini termasuk hackers dari Rusia ada dibalik ini semua. Informasi tak benar dikirim dari ruangan pengap, warnet dan kafe-kafe di berbagai negara ke hadapan gawai milik publik menjelma jadi kebenaran artifisial, membuat semua pihak meyakininya. Bagi warga Inggris, ini informasi biasa. Tapi bagi pemerintah Cameron ini membuatnya over-confidence, lengah, kemudian kalah. Di Inggris yang kritis dan logis, pembohongan ini tak bisa dihindari. Apalagi di Indonesia yang pengguna telpon pintarnya tunduk pada perintah “Darurat! Sebarkan jika kamu peduli!” dari seorang yang tak dia kenal.

@endykurniawan

Menyongsong 100 Tahun Kejayaan Bangsa: Suatu Harapan

Tahun ini, negara kita memasuki usia kemerdekaannya yang ke-75 pada tanggal 17 Agustus 2020. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi negara kita, karena masih dapat mempertahankan kedaulatannya selama hampir ¾ abad. Momen ini juga menjadi tantangan bagi negara kita dalam menapaki arah serta nasibnya kedepan. Indonesia di masa mendatang hendaknya menjadi suatu negara yang dapat menghargai perbedaan, saling menaruh simpati antar sesama saudara sebangsa setanah air, dan juga dapat terbuka dalam kehidupan bermasyarakatnya, namun, hal ini masih menjadi PR bagi perjalanan bangsa kita kedepannya.

Selama 75 tahun berdirinya Indonesia, kerap kali kita diterpa ancaman internal terhadap keutuhan serta kedaulatan negara kita. Mengutip perkataan bapak bangsa kita, Soekarno, beliau mengatakan bahwa perjuangan kita akan lebih sulit ketimbang dirinya, karena akan melawan bangsa kita sendiri, tidak seperti pada masa beliau yang berjuang melawan para penjajah. Bersandar pada realita yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini, nampaknya Soekarno telah menyadari bahwa sedari awal ancaman internal yang akan dihadapi bangsa dan negaranya kelak yakni kemajemukan yang dapat berujung pada ancaman disintegrasi bangsa.

Maraknya upaya pemecah-belahan bangsa karena masyarakat kita masih terpaku akan rasa etnosentrisme dan primordialisme yang sangat kuat antar kelompok sosial. Dua hal tersebut seakan menjadi luka terhadap upaya persatuan yang hendak diraih dan juga dipertahankan oleh para pendahulu kita. Dalam dinamika kehidupan di masyarakat, anggota suatu kelompok sosial mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang dimiliki kelompoknya merupakan sesuatu yang terbaik dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh kelompok lain, hal ini dapat dikategorikan etnosentrisme (Soekanto dan Sulistyowati, 2015: 106-107). Etnosentrisme yang kuat juga disertai dengan stereotip, yakni anggapan yang bersifat negatif terhadap suatu objek atau hal tertentu. Jika dibiarkan berlarut-larut, hal tersebut dapat menciptakan suatu konflik horizontal.

Fenomena masyarakat Indonesia masih melekat dengan konsep “dominasi”, dengan berbagai macam istilah yang melekat didalamnya, seperti “mayoritas-minoritas” ataupun juga “penduduk asli-pendatang”. Contoh yang paling dekat yakni pada kasus penutupan serta persekusi terhadap pendirian Gereja (BBC, 2019). Tidak menutup sebelah mata, rentetan aksi persekusi dan penolakan atas berdirinya tempat ibadah di negara kita tidak hanya terjadi bagi umat Kristiani saja, namun juga terhadap agama dan juga golongan lainnya. Selagi masih adanya aturan dominasi kelompok mayoritas yang mengikat–baik dalam pemaksaan nilai, norma, serta agama–terhadap kelompok minoritas, maka hal ini menyebabkan siklus tiada henti dalam wujud intoleransi. Ada pula contoh kasus lainnya yaitu mengenai polemik terkait dugaan adanya simbol “salib” yang terdapat pada tema logo HUT RI ke-75 (CNNIndonesia, 2020). Tidak sedikit pihak yang berpikiran negatif terhadap konsep logo HUT RI ke-75 yang dianggap sebagai wujud “kristenisasi” dan lain sebagainya. Hal-hal tersebutlah yang menciptakan suatu sumbu pendek dan mudah sekali dibakar oleh beberapa pihak untuk dapat memecah-belah persatuan tanpa berpikir kritis terlebih dahulu. Senada dengan penjelasan sebelumnya bahwa fenomena ini erat dengan iklim sosial-budaya masyarakat Indonesia yang sarat akan etnosentrisme dan juga primordialisme.

Saya mempunyai impian bahwa kelak saya dapat hidup di negeri ini tanpa dilanda rasa ketakutan dan prasangka buruk terhadap teman terdekat saya. Saya membayangkan bahwa kelak saya dapat duduk bersama dengan semua saudara setanah air tanpa memikirkan identitas yang berbeda-beda, hanya ada satu identitas, yakni “Indonesia”, tanpa memandang latar belakangnya, baik itu Jawa, Sunda, Batak, Asmat, Cina Peranakan, Kulit Hitam/Putih, Islam, Kristen, Hindu, Budha, bahkan aliran kepercayaan apapun.

Sesuai dengan ketetapan yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 1, pasal 28I ayat 1-5, dan juga pasal 29 diterangkan bahwa kita mendapatkan jaminan untuk dapat beragama dan meyakini sesuatu tanpa mendapatkan persekusi dan juga perlakuan diskriminatif, sebab, pada dasarnya hal tersebut merupakan hak dasar manusia Indonesia yang harusnya juga dapat “dijamin” oleh negara.

Terakhir, menyambung perkataan Bapak Presiden Indonesia, yakni Joko Widodo, dalam Pidato Kenegaraan-Nya pada Sidang Tahunan MPR sekaligus Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, beliau tak lupa berpesan untuk menjaga persatuan bangsa di kala pandemi ini. Jangan pernah merasa dirinya paling benar sendiri, paling beragama, dan paling Pancasilais. Karena semua keragaman dan kemajemukan yang sudah menjadi takdir bangsa kita, hendaknya menjadi suatu pemberdayaan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Di usianya yang sudah sejauh ini, Indonesia akan menyongsong suatu masa, dimana kita akan genap berusia satu abad. Untuk mencapai titik tersebut, apa yang harus kita persiapkan untuk masa depan bangsa selanjutnya? Jawabannya adalah kita harus tetap memperkuat konsolidasi nasional bangsa, menjaga toleransi tinggi yang telah menjadi nilai luhur bangsa. Jauh sebelum negara ini terbentuk, leluhur dan nenek moyang kita telah melandaskan suatu kearifan lokal dalam wujud akulturasi, toleransi, serta amalgamasi. Jangan sampai hal tersebut dirusak oleh segelintir pihak untuk mencapai kepentingan yang bersifat pragmatis.

Kemerdekaan ialah milik semua rakyat Indonesia, dahulu, kini, sampai seterusnya, selama hayat dikandung badan. Dirgahayu Indonesiaku.

Oleh Yonathan Anugerah El Pohan – Pemenang Lomba Karya Tulis/ Blog Gelora Kemerdekaan Indonesia 2020 Periode 1

UNTUK NEGERIKU

Dari lubuk hati, aku bisikkan cinta dan salam untuk negeriku, karunia Tuhan bernama Indonesia, sumber darah dan dagingku, sumber air dan udara bagi napasku selamanya sampai aku mati dikubur di tanah ini.

Tuhan, terimalah syukur atas anugerah ini, kau beri kami kesempatan hidup dari atas tanah negeri katulistiwa ini, dengan cahaya matahari yang menghidupkan pohon dan rerumputannya, menggerak ombak dan gelombang pantai yang indah.

…menghibur burung camar dan nelayan tua di tepi pantai…. Di pesisir nusantara … Aku bersaksi negeriku adalah karunia terbesar bagi kami….

Maka aku akan menjaga amanah ini memakmurkan negeriku dan berdiri di sini, apapun yang terjadi meski aku hanya sendiri. Meski badai melanda, meski goncangan datang bertubi-tubi…

Bertahanlah negeri ku, bertahanlah, aku akan bersamamu sampai titik darah penghabisan atau apapun yang lebih dari itu. Aku akan memelukmu dan menerima akibatnya meski hangus dan menjadi debu.

Bersabarlah negeriku, aku akan membawamu kebanggaan, tanah dan airmu akan bersemu udara dan lautmu akan berseri, dan Sangsaka Merah Putih akan berkibar tinggi… rakyat mu akan berdiri gagah dan garuda mu akan terbang… menjelajah ruang angkasa!

Janjiku padamu
aku patrikan sepenuh hati. Mengiringi-grimis dan semilir angin pantai…
sawah dan padi yang menguning…
sumber gizi dan kegembiraan hati… langit dan laut biru…
sampai akhir masa ku…
Sampai titik darah penghabisan…

Senin, 17 Agustus 2020

#DirgahayuRepublikIndonesia

#gelorakemerdekaanindonesia2020

17 Agustus 1945
17 Agustus 2020

Memahami HOAX dan Jejaring Maya di Sekitar Kita

Coba hitung kelompok insidentil yang Anda miliki, jejaring maya yang terjadi belakangan ini sejak media sosial – termasuk chat messenger – menjadi bagian dari hari-hari kita. Koneksi yang tiba-tiba ini menghubungkan kita dengan ratusan orang yang semula tak dikenal di Facebook, menjadi saling mengikuti di Twitter dan Instagram, atau menjadi sesama komentator di Youtube dan Blog. Accidental group, menurut James Ball dalam bukunya “Post Truth – How Bullshit Conquered The World” berperan besar dalam membentuk penyikapan manusia atas sebuah hubungan. Atas kejernihan menelan informasi dan mengapa hoax tumbuh subur.

Di Whatsapp, berapa banyak grup baru tercipta? Dalam kelompok alumni sekolah atau kampus, telah berapa tahun masing-masing anggotanya tak pernah berjumpa kemudian terhubung kembali karena satu-dua orang yang rela berkorban jadi admin dan undang satu persatu teman lamanya? Koneksi insidentil ini menyisakan sebuah hubungan yang rapuh. Satu cara untuk nyaman dalam pergaulan grup – yang menjadi ciri fenomena seperti ini – adalah yang seperti Margaret Hefferman katakan yaitu konformitas. Dalam bukunya Willful Blindness ia menjabarkan sebuah penelitian yang menunjukkan konformitas adalah sebagian besar dari kita akan bertindak untuk menyesuaikan diri dengan kelompok bahkan ketika itu adalah kelompok yang penuh dengan orang asing.

Dalam upaya menjaga harmoni dalam grup tersebut, masing-masing anggota menghindari konflik. Maka jadilah grup ini lebih menyukai anekdot melebihi statistik. Jarang sekali dengan fitur tekstual dalam pertemanan media sosial kita membahas sangat dalam tentang sebuah tema. Video lucu dan meme lebih sering dibagikan untuk membuat saling nyaman dan tertawa. Di saat inilah hoax menyebar. Saringan menjadi longgar, literasi melemah dan daya kritis jadi pudar. Jadilah ini pintu pertama menyebarnya informasi tak valid dengan mudah.

Dibalik itu semua, pertemanan media sosial agaknya menyisakan apa yang disebut confirmation bias. Resonansi dan amplifikasi informasi yang terlihat mudah terjadi cukup dengan menekan tombol ‘bagikan’ ternyata sulit untuk mengubah keyakinan masing-masing individu. Di media sosial, terjadi fenomena Echo Chamber: “kami mencari dan menyimpan informasi yang menegaskan keyakinan kami, dan kami berjuang untuk menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinan kami”. Itu sebabnya sulit memenangkan argumentasi secara online. Ketika Anda mulai mengeluarkan fakta dan angka, tautan, dan kutipan, Anda sebenarnya membuat lawan merasa seolah-olah mereka lebih yakin akan posisi mereka daripada sebelum Anda memulai debat.

Menggali Imajinasi Kaum Muda Dalam Arah Baru Indonesia

Menggali Imajinasi Kaum Muda Dalam Arah Baru Indonesia

“Kelebihan anak muda adalah kaya akan imajinasi. Imajinasi tentang Indonesia masa depan itu yang sekarang kita jaga. Indonesia menjadi kekuatan lima besar dunia…” Itulah penggalan singkat dari pesan ketua umum partai gelora untuk kaum muda Indonesia. Kita harus ingat bahwa Indonesia saat ini adalah hasil dari perjuangan para pahlawan di masa lalu, terutama para kaum muda yang hadir dengan imajinasi bahwa kita harus menjadi Indonesia, kita harus bersatu. Kemudian mereka mewujudkannya dengan melahirkan organisasi-organisasi pergerakan yang membawa pada sumpah pemuda. Dari sejarah tersebut kita mengetahui seberapa besar pengaruhnya peran kaum muda dengan kekuatan imajinasinya.

Kaum muda masa lalu memiliki imajinasi yang kuat tentang kemerdekaan Indonesia, dan imajinasi itu terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945.
Begitu juga imajinasi kaum muda masa kini, akan menjadi kenyataan di masa yang akan datang. Maka memulai dengan imajinasi adalah langkah awal mewujudkan cita-cita masa depan Indonesia.

Menjadikan Indonesia kekuatan lima besar dunia mungkin akan terdengar mustahil bagi sebagian orang, bagi sebagian orang yang tidak pernah membuka mata melihat negerinya. Karena bagi orang-orang yang telah membuka mata melihat negerinya, dia akan sadar betapa potensialnya Indonesia untuk menjadi kekuatan lima besar dunia, betapa imajinasi itu akan menjadi realita.

Lihatlah negeri kita saat ini, di balik banyak masalahnya, terdapat jutaan jiwa-jiwa muda yang memiliki potensi. Potensi-potensi yang jika dikembangkan dan dimaksimalkan dapat mewujudkan Indonesia menjadi kekuatan lima besar dunia. Itu sebabnya kita butuh imajinasi, sebagai gerbang awal perjuangan menuju arah baru Indonesia, sama seperti imajinasi kaum muda masa lalu, sebagai gerbang awal perjuangan menuju kemerdekaan. Einsten pernah berkata, “Imagination is more important than knowledge…”
(Imajinasi lebih penting dari pengetahuan).
Anis Matta juga menyampaikan,
“Imajinasi merupakan ruang untuk menampilkan energi dan ruang yang mengalirkan tenaga kita. Indonesia butuh ruang itu.”
Imajinasi tentang arah baru Indonesia untuk menjadi kekuatan lima besar dunia adalah ruang untuk potensi jutaan jiwa-jiwa muda Indonesia.

Dalam acara Gelora Digifest 2020 beberapa hari lalu, Partai Gelora Indonesia menyelenggarakan lomba narasi melalui Bidang Generasi Muda, sebagai salah satu ruang untuk mempersilahkan generasi muda Indonesia menuangkan imajinasi tentang cita-cita besarnya untuk masa depan Indonesia. Dimenangkan oleh salah satu jiwa muda berpotensi bernama Agung Purwa Widiyan dari Kabupaten Bogor yang kini sedang melanjutkan pendidikannya di Khon Kaen Uni Thailand mengambil jurusan Administrasi Pendidikan. Dari 120 naskah yang masuk terpilih 5 terbaik yang dipilih langsung oleh Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta. Berikut nama-nama 5 peserta terbaik pilihan Anis Matta:

  • Agung Purwa Widiyan (Kab. Bogor)
  • Krisna Adrian (Bangka Belitung)
  • M Anis Zafran Al Anwary (Malang)
  • Yusuf Qardhawi (Medan)
  • Muhammad Pramadika (Riau)

Agung dan seluruh peserta lain telah mengambil ruang imajinasi ini untuk mengembangkan dan memaksimalkan potensi mereka menuju arah baru Indonesia dan begitu juga kita. Maka siapkah kita?

(Wafa Afifah, 26/7/2020)

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X