Category: Artikel / Blog

Makna 75 Tahun Kemeredakaan, Menata Arah Indonesia di Masa Depan

, , ,

(Sebuah pikiran sederhana dari anak pinggiran untuk Indonesia di masa depan)

KEMERDEKAAN yang kita raih adalah anugerah terindah dari Allah SWT untuk bangsa ini. Lepasnya bangsa ini dari cengkeraman penjajah tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kemerdekaan yang diraih penuh cucuran keringat, tetesan darah, ribuan nyawa yang tak bisa dibayar dengan apapun. Berapa banyak para pejuang yang gugur, berapa banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya, berapa banyak wanita yang kehilangan suaminya demi membela tanah air ini lepas dari penjajahan. Sebuah pengorbanan yang luar biasa, dipertaruhkan untuk satu tujuan yakni menghirup udara kebahagian dari penjajahan.

Terbebasnya bangsa ini dari penjajahan harapannya menjadi pelecut semangat dan perlu semakin banyak generasi muda yang merasakan secara langsung makna kemerdekaan ini agar bisa meneladani generasi pejuang sebelumnya. Semangat perjuangan ini harus terus berlanjut dan membara hingga generasi mendatang.

Mewariskan dan menanamkan berbagai semangat tersebut juga merupakan cara untuk memaknai kemerdekaan. Memaknai kemerdekaan adalah mengaktualisasikan diri kita pada nilai-nilai kebaikan seperti keikhlasan dalam berjuang, kegigihan, semangat pantang menyerah dalam mencapai sebuah tujuan, serta semangat kegotong royongan dalam realitas kehidupan sosial.
Sebagai muslim, di hari kemerdekaan ini kalau kita cermati tidaklah cukup bagi kita merayakan hari kemerdekaan ini sebatas dengan mengadakan lomba-lomba saja. Tetapi, semestinya umat Islam lebih banyak menebar manfaat dan kebaikan kepada sesama. Bagi umat Islam, anugerah kemerdekaan ini seharusnya dijadikan momentum untuk menghidupkan rasa syukur kita kepada Allah SWT.

Syukur terhadap kemerdekaan merupakan segala bentuk aktivitas seorang hamba dalam rangka mendayagunakan semua nikmat yang Allah berikan kepadanya menuju tujuan manusia itu diciptakan yaitu beribadah kepada Allah SWT. Indikasi dari rasa syukur yang mendalam sudah sepatutnya dibuktikan dengan hal nyata di dalam kehidupan sehari-hari.

Ungkapan rasa syukur terhadap perjuangan para pahlawan adalah bagian rasa syukur kita juga kepada Allah. Ini selaras dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi:
مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ
Barang siapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti dia sama saja tidak berterima kasih kepada Allah SWT. (HR. Ahmad)

Paling tidak ada dua cara menghargai jasa para pahlawan. Pertama, mendoakan kepada Allah agar mereka yang saat ini sudah wafat mendapatkan balasan kenikmatan dari Allah SWT. Kedua, melanjutkan perjuangan mereka, yaitu mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan cara menebar manfaat dan kebaikan demi kemajuan bangsa yang kita cintai ini. Selain itu sebagai warga negara, kita adalah menjadi perawi peradaban berikutnya, oleh sebab itu perlu proposal hidup agar hidup kita selama di dunia ini bermakna dan mendapat keberkahan dari Allah SWT.

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, selalu dipuja-puja bangsa. Indonesia merupakan negara yang kaya dan memiliki keindahan yang luar biasa. Namun, ada beberapa pesan dan harapan nih untuk seluruh masyarakat Indonesia, pesan dan harapan ini merupakan keresahan dan keinginan yang diharapkan dapat menjadikan Indonesia menjadi lebih baik dan lebih maju di masa yang akan datang. Bersama-sama berpegang tangan untuk mewujudkan Indonesia maju dan Indonesia jaya. Hal itu dikarenakan mewujudkan mimpi Indonesia adalah tugas kita bersama, seluruh masyarakat Indonesia bukan hanya tugas satu atau dua orang saja.

Ada beberapa pesan dan harapan bersama yang perlu kita capai agar bangsa kita ini senantiasa dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Yaitu :

  1. Pada Bidang Ekonomi
    Pemerataan kesejahteraan adalah harapan semua warga Indonesia. Bisa diikatakan orang tidak akan mampu berpikir kalau perutnya masih lapar. Perlu diisi dulu perutnya maka akan mudah untuk bertenaga dan berpikir. Demikian juga sebuah negara, sektor ekonomi adalah jantung dari dari masyarakat karena menyangkut isi perut dan kesejahteraan warga negara. Dalam hal ekonomi kita bisa belajar pada bangsa Jepang bagaimana mereka menggerakkan roda perekonomian mereka yakni dengan menghidupkan UMKM sektor perekonomian rumah tangga. Pemerintah bisa lebih optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui pemberdayaan UMKM mentransformasikan UMKM ke arah ekspor menjadi wajib dan UMKM juga harus bergerak untuk memproduksi barang-barang substitusi impor, yang selama ini memberatkan neraca perdagangan nasional. Melalui pemberdayaan sektor UMKM ini mampu menjamah hasrat kemajuan pada lapisan terkecil warga masyarakat. Sehingga angka kemiskinan semakin menurun dan lapangan kerja rakyat kecil semakin luas.
  2. Pada Bidang Pendidikan
    Pada bidang pendidikan, tampaknya tidak akan pernah bosan kita katakan. Pendidikan merupakan pintu gerbang bagi para penerus bangsa untuk memeroleh berbagai ilmu dan pelajaran yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesenjangan sosial yang terjadi di dalam dunia pendidikan Indonesia. Salah satunya adalah perbedaan antara fasilitas penunjang pendidikan di pusat kota dan daerah. Masih banyak sekolah-sekolah yang masih jauh dari kata layak dan nyaman. Contohnya saja di masa Pandemi Covid 19 ini. Banyak hambatan dan tantangan yang perlu kita cari solusinya bersama. Akses internet, quota, jarak tempuh siswa yang jauh, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan mahalnya biaya pendidikan. Akan sangat baik jika memang anak-anak negeri ini dapat mengenyam pendidikan tanpa harus khawatir mengenai fasilitasnya, sehingga nantinya ilmu yang mereka dapatkan menjadi bekal untuk membuat hidupnya menjadi lebih baik. Menyambung tongkat estafet para pejuang negeri ini untuk kehidupan yang lebih maju dan bermartabat. Pada bidang pendidikan ini sangat erat kaitannya dengan ekonomi, karena kalau pendapatan kita rendah maka pembiayaan pada sektor pendidikan juga akan sedikit.
  3. Pada Bidang Kesehatan
    Akses layanan kesehatan yang cepat, murah dan baik harapannya juga dirasakan oleh semua warga. Peningkatan kualitas kesehatan dengan baik akan tercipta, jika fasilitas dan akses kesehatan terpenuhi serta persebarannya merata. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat harus melibatkan seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat 3T (tertinggal, terdepan, terluar), dengan perhatian yang diberikan merata kepada setiap provinsi, diharapkan mampu mengurangi permasalahan kesehatan di seluruh Indonesia. Selain itu pemahaman kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hidup sehat, apalagi dalam masa Pandemi Covid 19 ini, perlu upaya berbagai pihak untuk menggaungkan pola hidup sehat sehingga menjadi sebuah kesadaran bersama. Mengembangkan obat-obatan herbal dan alami dari bahan baku alam Indonesia perlu digalakkan sehingga bisa lebih ekonomis dan kecil efek samping. Selain itu juga kita harus peka dan waspada terhadap setiap jenis vaksin yang masuk dari luar negara kita ke dalam negara kita, karena boleh jadi itu bagian dari strategic war dari negara lain untuk menghancurkan negara kita.
  4. Pada Bidang Pertahanan dan Keamanan
    Dalam hal pertahanan dan keamanan, harapannya negara kita jangan sampai diintervensi oleh bangsa lain. Baik dari sektor udara, darat maupun laut. Peningkatan sistem pertahanan dan keamanan, memang harus melibatkan seluruh elemen kekuatan bangsa ini meliputi tenaga manusia (manpower), industri dan material industri, ilmu pengetahuan dan teknologi. Akses dan fasilitas di daerah perbatasan adalah bagian hal yang menjadi perhatian serius bersama. Bagian kemaritiman, daerah lautan yang begitu luas perlu stategi untuk menjangkaunya agar bisa lebih mudah terkontrol. Selain itu kejelasan daerah teritorial kelautan kita harus kita jaga dengan cermat. Letakkan di sana pertahanan berlapis untuk menjaga keutuhan kekayaan alam, sumber daya kelautan dan tanah air kita. Pemberlakuan pajak pada daerah strategis di selat-selat yang berbatasan langsung dengan wilayah internasional yang di lalui oleh negara lain dan itu bisa menjadi tambahan pemasukan bagi negara kita sehingga terjadi peningkatan pendapatan devisa serta negara kita berwibawa di mata dunia.
  5. Pada Bidang Teknologi
    Penggunaan internet memang sudah bukan hal yang asing lagi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Qouta internet sudah menjadi kebutuhan wajib. Realitas sekarang ini setiap orang selain handphone, charger, power bank dan colokan adalah semacam menu wajib yang harus ada di dalam tas mereka masing-masing.
    Pada era digital sekarang ini hampir dipastikan akan sangat menyulitkan jika tidak ada internet. Seluruh aktifitas yang ada kini bisa didapatkan dengan lebih mudah melalui satu ketukan saja di perangkat elektronik yakni handphone. Mulai dari komunikasi, transportasi, ekonomi, kesehatan, berbagai macam jenis transaksi dan masih banyak lagi yang lainnya. Contoh permasalahan yang kita hadapi pada masa pandemic Covid 19 ini, hampir semua sekolah melakukan pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran tersebut tentunya memerlukan quota internet dan jaringan yang harus memadai. Mungkin yang kita rasakan akses internet dan layanan sinyal jaringan yang baik perlu pemerataan yang dirasakan oleh masyarakat sampai ke semua pelosok negeri. Oleh karena itu, hal ini menjadi pikiran bersama dari sejak dini perlu terus ditingkatkan berbagai kreativitas serta diperlukan wadah untuk ide-ide kreatif dari anak bangsa kita karena jika teknologi dapat dikembangkan dengan baik dan optimal. Maka teknologi betul-betul akan berpengaruh lebih besar dan memberikan dampak positif terhadap kemajuan bangsa kita.

Mengutip pesan dari Jenderal Soedirman :
“Hendaknya perjuangan kita harus kita dasarkan pada kesucian. Kami percaya bahwa perjuangan yang suci itu senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan.”

Sebuah refleksi bersama Surah Al Bayyinah ayat kelima agar kita senantiasa memurnikan niat kita dalam beribadah, beraktifitas dan berjuang untuk mencari keridhaan Allah SWT. Entah itu dia sebagai rakyat, pengusaha, pejabat dan lain-lain. Karena dari situ akan datang pertolongan Allah SWT.

Oleh: Akhmad Muzakir – Pemenang Lomba Karya Tulis Kemerdekaan Periode-2

Mengapa Kita Kalah Melawan Hoax

Salah satu residu dari meluasnya penggunaan media sosial adalah ruahnya berbagai informasi yang kemudian melahirkan generasi malas berpikir. Karena saringan tak mampu lagi menahan arus informasi, maka akal sehat – yang awalnya bahkan hanya mencerna informasi pada permukaannya saja – kemudian benar-benar tumpul. Bayangkan yang harus pengguna Facebook lakukan jika harus mengikuti anjuran Divisi Humas Polri: “Saring sebelum sharing” ketika membaca 100 unggahan di tautan laman Facebook miliknya dalam sehari. Apakah dia harus melakukan cek silang a la redaktur dengan berbagai laman media lainnya, atau dia harus selalu menanyakan : “Apakah ini benar, siapa sumbernya, dari mana datanya, apakah valid?” dan lainnya kepada pengunggah? Seratus kali per hari untuk setiap unggahan yang dia baca? Yang bener aja.

Tapi, sebetulnya, kata James Ball dalam Post Truth (Biteback, 2017), salah satu ciri hoax adalah ‘grabby, easy to understand, easy to share’. Gampang didapat. Gampang dipahami dan gampang dibagikan. Dan kemudian salah. Mengapa? Karena hoax dikreasi memang untuk meng-entertain yang pendek berfikirnya. Siapa mereka? Publik yang malas baca, yang diperparah lagi, pemalas baca yang menikmati penumpulan akal kronis di media sosial dan platform berbagi seperti chat messenger. Jadi, sensor pertama yang perlu dipunya untuk menyortir hoaks adalah kemampuan logika dan bahasa. Mengapa di Indonesia hoax subur? Karena skor Indonesia di kompetensi logical thinking (yang didapat dari kemampuan matematik) dan semantik-linguistik (yang diasah dari kegemaran baca) ada di posisi ke-62 dari 70 negara yang disurvei (Ari Kuncoro, Guru Besar FEB UI, Kompas, 12 Januari 2018).

Ketika di negara lain informasi melimpah – terutama menjalar melalui media elektronik – bisa diolah menjadi penerawangan ide, olah data, membaca gejala, membuat program dan proyeksi skenario serta pengambilan keputusan, di Indonesia yang terjadi adalah penumpukan kerak dan kotoran. Menyumbat dan muncratlah jadi informasi tak penting yang sebagiannya rekayasa dan kebohongan. Sebagai informasi, pengguna internet di Indonesia ‘mantengin’ gawai rata-rata 8 jam 51 menit per hari (!). Data Hootsuite Januari 2018 itu mencatat Indonesia di peringkat ke 4 dunia, hanya kalah oleh Thailand, Filipina dan Brazil. Sementara Singapura hanya 7 jam per hari, USA hanya 6:30 dan Jepang 4:12. Negara-negara maju lain dibawah 5 jam. Publik yang berjam-jam di depan gawai ini kemudian dengan mudahnya jadi target. Apa misalnya? Warganet bisa menjadi objek pembodohan politik dan iklan komersial.

Pada 23 Juni 2016, jam 10 malam, masyarakat Inggris masih meyakini bahwa negerinya tak akan keluar dari Uni Eropa. Opsi Remain vs Leave (Brexit) masih ketat dengan posisi 52:48. Polling di semua media utama dan media sosial membagikan hasil serupa. Esoknya menjelang subuh, Poundsterling jatuh dan bursa saham Inggris rontok demi opsi Leave yang unggul. Belakangan, setelah investigasi, perekayasa opini termasuk hackers dari Rusia ada dibalik ini semua. Informasi tak benar dikirim dari ruangan pengap, warnet dan kafe-kafe di berbagai negara ke hadapan gawai milik publik menjelma jadi kebenaran artifisial, membuat semua pihak meyakininya. Bagi warga Inggris, ini informasi biasa. Tapi bagi pemerintah Cameron ini membuatnya over-confidence, lengah, kemudian kalah. Di Inggris yang kritis dan logis, pembohongan ini tak bisa dihindari. Apalagi di Indonesia yang pengguna telpon pintarnya tunduk pada perintah “Darurat! Sebarkan jika kamu peduli!” dari seorang yang tak dia kenal.

@endykurniawan

Menyongsong 100 Tahun Kejayaan Bangsa: Suatu Harapan

Tahun ini, negara kita memasuki usia kemerdekaannya yang ke-75 pada tanggal 17 Agustus 2020. Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi negara kita, karena masih dapat mempertahankan kedaulatannya selama hampir ¾ abad. Momen ini juga menjadi tantangan bagi negara kita dalam menapaki arah serta nasibnya kedepan. Indonesia di masa mendatang hendaknya menjadi suatu negara yang dapat menghargai perbedaan, saling menaruh simpati antar sesama saudara sebangsa setanah air, dan juga dapat terbuka dalam kehidupan bermasyarakatnya, namun, hal ini masih menjadi PR bagi perjalanan bangsa kita kedepannya.

Selama 75 tahun berdirinya Indonesia, kerap kali kita diterpa ancaman internal terhadap keutuhan serta kedaulatan negara kita. Mengutip perkataan bapak bangsa kita, Soekarno, beliau mengatakan bahwa perjuangan kita akan lebih sulit ketimbang dirinya, karena akan melawan bangsa kita sendiri, tidak seperti pada masa beliau yang berjuang melawan para penjajah. Bersandar pada realita yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini, nampaknya Soekarno telah menyadari bahwa sedari awal ancaman internal yang akan dihadapi bangsa dan negaranya kelak yakni kemajemukan yang dapat berujung pada ancaman disintegrasi bangsa.

Maraknya upaya pemecah-belahan bangsa karena masyarakat kita masih terpaku akan rasa etnosentrisme dan primordialisme yang sangat kuat antar kelompok sosial. Dua hal tersebut seakan menjadi luka terhadap upaya persatuan yang hendak diraih dan juga dipertahankan oleh para pendahulu kita. Dalam dinamika kehidupan di masyarakat, anggota suatu kelompok sosial mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa segala sesuatu yang dimiliki kelompoknya merupakan sesuatu yang terbaik dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh kelompok lain, hal ini dapat dikategorikan etnosentrisme (Soekanto dan Sulistyowati, 2015: 106-107). Etnosentrisme yang kuat juga disertai dengan stereotip, yakni anggapan yang bersifat negatif terhadap suatu objek atau hal tertentu. Jika dibiarkan berlarut-larut, hal tersebut dapat menciptakan suatu konflik horizontal.

Fenomena masyarakat Indonesia masih melekat dengan konsep “dominasi”, dengan berbagai macam istilah yang melekat didalamnya, seperti “mayoritas-minoritas” ataupun juga “penduduk asli-pendatang”. Contoh yang paling dekat yakni pada kasus penutupan serta persekusi terhadap pendirian Gereja (BBC, 2019). Tidak menutup sebelah mata, rentetan aksi persekusi dan penolakan atas berdirinya tempat ibadah di negara kita tidak hanya terjadi bagi umat Kristiani saja, namun juga terhadap agama dan juga golongan lainnya. Selagi masih adanya aturan dominasi kelompok mayoritas yang mengikat–baik dalam pemaksaan nilai, norma, serta agama–terhadap kelompok minoritas, maka hal ini menyebabkan siklus tiada henti dalam wujud intoleransi. Ada pula contoh kasus lainnya yaitu mengenai polemik terkait dugaan adanya simbol “salib” yang terdapat pada tema logo HUT RI ke-75 (CNNIndonesia, 2020). Tidak sedikit pihak yang berpikiran negatif terhadap konsep logo HUT RI ke-75 yang dianggap sebagai wujud “kristenisasi” dan lain sebagainya. Hal-hal tersebutlah yang menciptakan suatu sumbu pendek dan mudah sekali dibakar oleh beberapa pihak untuk dapat memecah-belah persatuan tanpa berpikir kritis terlebih dahulu. Senada dengan penjelasan sebelumnya bahwa fenomena ini erat dengan iklim sosial-budaya masyarakat Indonesia yang sarat akan etnosentrisme dan juga primordialisme.

Saya mempunyai impian bahwa kelak saya dapat hidup di negeri ini tanpa dilanda rasa ketakutan dan prasangka buruk terhadap teman terdekat saya. Saya membayangkan bahwa kelak saya dapat duduk bersama dengan semua saudara setanah air tanpa memikirkan identitas yang berbeda-beda, hanya ada satu identitas, yakni “Indonesia”, tanpa memandang latar belakangnya, baik itu Jawa, Sunda, Batak, Asmat, Cina Peranakan, Kulit Hitam/Putih, Islam, Kristen, Hindu, Budha, bahkan aliran kepercayaan apapun.

Sesuai dengan ketetapan yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 1, pasal 28I ayat 1-5, dan juga pasal 29 diterangkan bahwa kita mendapatkan jaminan untuk dapat beragama dan meyakini sesuatu tanpa mendapatkan persekusi dan juga perlakuan diskriminatif, sebab, pada dasarnya hal tersebut merupakan hak dasar manusia Indonesia yang harusnya juga dapat “dijamin” oleh negara.

Terakhir, menyambung perkataan Bapak Presiden Indonesia, yakni Joko Widodo, dalam Pidato Kenegaraan-Nya pada Sidang Tahunan MPR sekaligus Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, beliau tak lupa berpesan untuk menjaga persatuan bangsa di kala pandemi ini. Jangan pernah merasa dirinya paling benar sendiri, paling beragama, dan paling Pancasilais. Karena semua keragaman dan kemajemukan yang sudah menjadi takdir bangsa kita, hendaknya menjadi suatu pemberdayaan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Di usianya yang sudah sejauh ini, Indonesia akan menyongsong suatu masa, dimana kita akan genap berusia satu abad. Untuk mencapai titik tersebut, apa yang harus kita persiapkan untuk masa depan bangsa selanjutnya? Jawabannya adalah kita harus tetap memperkuat konsolidasi nasional bangsa, menjaga toleransi tinggi yang telah menjadi nilai luhur bangsa. Jauh sebelum negara ini terbentuk, leluhur dan nenek moyang kita telah melandaskan suatu kearifan lokal dalam wujud akulturasi, toleransi, serta amalgamasi. Jangan sampai hal tersebut dirusak oleh segelintir pihak untuk mencapai kepentingan yang bersifat pragmatis.

Kemerdekaan ialah milik semua rakyat Indonesia, dahulu, kini, sampai seterusnya, selama hayat dikandung badan. Dirgahayu Indonesiaku.

Oleh Yonathan Anugerah El Pohan – Pemenang Lomba Karya Tulis/ Blog Gelora Kemerdekaan Indonesia 2020 Periode 1

UNTUK NEGERIKU

Dari lubuk hati, aku bisikkan cinta dan salam untuk negeriku, karunia Tuhan bernama Indonesia, sumber darah dan dagingku, sumber air dan udara bagi napasku selamanya sampai aku mati dikubur di tanah ini.

Tuhan, terimalah syukur atas anugerah ini, kau beri kami kesempatan hidup dari atas tanah negeri katulistiwa ini, dengan cahaya matahari yang menghidupkan pohon dan rerumputannya, menggerak ombak dan gelombang pantai yang indah.

…menghibur burung camar dan nelayan tua di tepi pantai…. Di pesisir nusantara … Aku bersaksi negeriku adalah karunia terbesar bagi kami….

Maka aku akan menjaga amanah ini memakmurkan negeriku dan berdiri di sini, apapun yang terjadi meski aku hanya sendiri. Meski badai melanda, meski goncangan datang bertubi-tubi…

Bertahanlah negeri ku, bertahanlah, aku akan bersamamu sampai titik darah penghabisan atau apapun yang lebih dari itu. Aku akan memelukmu dan menerima akibatnya meski hangus dan menjadi debu.

Bersabarlah negeriku, aku akan membawamu kebanggaan, tanah dan airmu akan bersemu udara dan lautmu akan berseri, dan Sangsaka Merah Putih akan berkibar tinggi… rakyat mu akan berdiri gagah dan garuda mu akan terbang… menjelajah ruang angkasa!

Janjiku padamu
aku patrikan sepenuh hati. Mengiringi-grimis dan semilir angin pantai…
sawah dan padi yang menguning…
sumber gizi dan kegembiraan hati… langit dan laut biru…
sampai akhir masa ku…
Sampai titik darah penghabisan…

Senin, 17 Agustus 2020

#DirgahayuRepublikIndonesia

#gelorakemerdekaanindonesia2020

17 Agustus 1945
17 Agustus 2020

Memahami HOAX dan Jejaring Maya di Sekitar Kita

Coba hitung kelompok insidentil yang Anda miliki, jejaring maya yang terjadi belakangan ini sejak media sosial – termasuk chat messenger – menjadi bagian dari hari-hari kita. Koneksi yang tiba-tiba ini menghubungkan kita dengan ratusan orang yang semula tak dikenal di Facebook, menjadi saling mengikuti di Twitter dan Instagram, atau menjadi sesama komentator di Youtube dan Blog. Accidental group, menurut James Ball dalam bukunya “Post Truth – How Bullshit Conquered The World” berperan besar dalam membentuk penyikapan manusia atas sebuah hubungan. Atas kejernihan menelan informasi dan mengapa hoax tumbuh subur.

Di Whatsapp, berapa banyak grup baru tercipta? Dalam kelompok alumni sekolah atau kampus, telah berapa tahun masing-masing anggotanya tak pernah berjumpa kemudian terhubung kembali karena satu-dua orang yang rela berkorban jadi admin dan undang satu persatu teman lamanya? Koneksi insidentil ini menyisakan sebuah hubungan yang rapuh. Satu cara untuk nyaman dalam pergaulan grup – yang menjadi ciri fenomena seperti ini – adalah yang seperti Margaret Hefferman katakan yaitu konformitas. Dalam bukunya Willful Blindness ia menjabarkan sebuah penelitian yang menunjukkan konformitas adalah sebagian besar dari kita akan bertindak untuk menyesuaikan diri dengan kelompok bahkan ketika itu adalah kelompok yang penuh dengan orang asing.

Dalam upaya menjaga harmoni dalam grup tersebut, masing-masing anggota menghindari konflik. Maka jadilah grup ini lebih menyukai anekdot melebihi statistik. Jarang sekali dengan fitur tekstual dalam pertemanan media sosial kita membahas sangat dalam tentang sebuah tema. Video lucu dan meme lebih sering dibagikan untuk membuat saling nyaman dan tertawa. Di saat inilah hoax menyebar. Saringan menjadi longgar, literasi melemah dan daya kritis jadi pudar. Jadilah ini pintu pertama menyebarnya informasi tak valid dengan mudah.

Dibalik itu semua, pertemanan media sosial agaknya menyisakan apa yang disebut confirmation bias. Resonansi dan amplifikasi informasi yang terlihat mudah terjadi cukup dengan menekan tombol ‘bagikan’ ternyata sulit untuk mengubah keyakinan masing-masing individu. Di media sosial, terjadi fenomena Echo Chamber: “kami mencari dan menyimpan informasi yang menegaskan keyakinan kami, dan kami berjuang untuk menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinan kami”. Itu sebabnya sulit memenangkan argumentasi secara online. Ketika Anda mulai mengeluarkan fakta dan angka, tautan, dan kutipan, Anda sebenarnya membuat lawan merasa seolah-olah mereka lebih yakin akan posisi mereka daripada sebelum Anda memulai debat.

Menggali Imajinasi Kaum Muda Dalam Arah Baru Indonesia

Menggali Imajinasi Kaum Muda Dalam Arah Baru Indonesia

“Kelebihan anak muda adalah kaya akan imajinasi. Imajinasi tentang Indonesia masa depan itu yang sekarang kita jaga. Indonesia menjadi kekuatan lima besar dunia…” Itulah penggalan singkat dari pesan ketua umum partai gelora untuk kaum muda Indonesia. Kita harus ingat bahwa Indonesia saat ini adalah hasil dari perjuangan para pahlawan di masa lalu, terutama para kaum muda yang hadir dengan imajinasi bahwa kita harus menjadi Indonesia, kita harus bersatu. Kemudian mereka mewujudkannya dengan melahirkan organisasi-organisasi pergerakan yang membawa pada sumpah pemuda. Dari sejarah tersebut kita mengetahui seberapa besar pengaruhnya peran kaum muda dengan kekuatan imajinasinya.

Kaum muda masa lalu memiliki imajinasi yang kuat tentang kemerdekaan Indonesia, dan imajinasi itu terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945.
Begitu juga imajinasi kaum muda masa kini, akan menjadi kenyataan di masa yang akan datang. Maka memulai dengan imajinasi adalah langkah awal mewujudkan cita-cita masa depan Indonesia.

Menjadikan Indonesia kekuatan lima besar dunia mungkin akan terdengar mustahil bagi sebagian orang, bagi sebagian orang yang tidak pernah membuka mata melihat negerinya. Karena bagi orang-orang yang telah membuka mata melihat negerinya, dia akan sadar betapa potensialnya Indonesia untuk menjadi kekuatan lima besar dunia, betapa imajinasi itu akan menjadi realita.

Lihatlah negeri kita saat ini, di balik banyak masalahnya, terdapat jutaan jiwa-jiwa muda yang memiliki potensi. Potensi-potensi yang jika dikembangkan dan dimaksimalkan dapat mewujudkan Indonesia menjadi kekuatan lima besar dunia. Itu sebabnya kita butuh imajinasi, sebagai gerbang awal perjuangan menuju arah baru Indonesia, sama seperti imajinasi kaum muda masa lalu, sebagai gerbang awal perjuangan menuju kemerdekaan. Einsten pernah berkata, “Imagination is more important than knowledge…”
(Imajinasi lebih penting dari pengetahuan).
Anis Matta juga menyampaikan,
“Imajinasi merupakan ruang untuk menampilkan energi dan ruang yang mengalirkan tenaga kita. Indonesia butuh ruang itu.”
Imajinasi tentang arah baru Indonesia untuk menjadi kekuatan lima besar dunia adalah ruang untuk potensi jutaan jiwa-jiwa muda Indonesia.

Dalam acara Gelora Digifest 2020 beberapa hari lalu, Partai Gelora Indonesia menyelenggarakan lomba narasi melalui Bidang Generasi Muda, sebagai salah satu ruang untuk mempersilahkan generasi muda Indonesia menuangkan imajinasi tentang cita-cita besarnya untuk masa depan Indonesia. Dimenangkan oleh salah satu jiwa muda berpotensi bernama Agung Purwa Widiyan dari Kabupaten Bogor yang kini sedang melanjutkan pendidikannya di Khon Kaen Uni Thailand mengambil jurusan Administrasi Pendidikan. Dari 120 naskah yang masuk terpilih 5 terbaik yang dipilih langsung oleh Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta. Berikut nama-nama 5 peserta terbaik pilihan Anis Matta:

  • Agung Purwa Widiyan (Kab. Bogor)
  • Krisna Adrian (Bangka Belitung)
  • M Anis Zafran Al Anwary (Malang)
  • Yusuf Qardhawi (Medan)
  • Muhammad Pramadika (Riau)

Agung dan seluruh peserta lain telah mengambil ruang imajinasi ini untuk mengembangkan dan memaksimalkan potensi mereka menuju arah baru Indonesia dan begitu juga kita. Maka siapkah kita?

(Wafa Afifah, 26/7/2020)

Catatan Dari GELORA DIGIFEST Komunikasi Politik di Pasar Milenial

Catatan Dari GELORA DIGIFEST: Komunikasi Politik di Pasar Milenial

Pemilihan umum 2024 masih lama. Tapi geliatnya sudah mulai terasa. Empat tahun waktu yang teramat pendek untuk proses pemasaran produk bernama partai politik. Di pasar milenial pula.

Saya tiga kali terkejut. Poster yang saya terima melalui Whatsapp itu pemicunya. Poster itu mengiringi permintaan Endy Kurniawan, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gelora, agar saya bersedia menjadi pembicara dalam acara Digifest 2020.

Kejutan pertama adalah nama Digifest 2020 itu sendiri. Di bawah judul acara tertulis tagline simple: Creative Education. Entertainment. Enlightenment. Mengapa kata ‘Digifest’ yang dipilih? Mengapa memakai tagline berbahasa Inggris?

Kejutan kedua: sosok yang ditampilkan dalam e-poster itu semuanya muda. Kecuali: saya dan Anis Matta serta Fahri Hamzah, dua pendiri partai Gelora. Kejutan ketiga: Ada foto perempuan muda tak berhijab di poster itu.

Saya coba pastikan sekali lagi. Jangan-jangan salah edit naskah dan foto. Ternyata tidak. Itu e-poster resmi.

Dalam komunikasi, pesan visual memiliki kemampuan empat kali lebih kuat dibanding pesan verbal. Maka dalam komunikasi visual first impression itu sangat penting.

Empat detik pertama. Di situlah pertaruhannya. Pandangan pertamalah yang menentukan: Apakah saya sebagai penerima pesan akan mau membaca lebih jauh, membagikan kepada teman-teman saya, atau saya hapus dari memory handphone.

Dari pandangan pertama itu, saya menyimpulkan: Pesan partai ini keren. Untuk menguji kesimpulan itu, saya putuskan membagikan poster ke beberapa grup Whatsapp. Termasuk grup yang saya anggap ‘garis keras’. Ajiiib. Tidak ada yang berkomentar negatif.


Pemilihan umum 2024 adalah awal sejarah baru pemilihan umum secara nasional. Inilah kali pertama generasi milenial menjadi penentu kemenangan partai politik.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni merilis data menarik. Jumlah pemilih muda pada pemilu 2024 berjumlah lebih dari 50 persen. Bila dikategorisasi hingga usia 35 tahun, jumlahnya mencapai 79 juta. Tetapi kalau yang disebut usia muda dinaikkan sampai 40 tahun jumlahnya mencapai 100 juta.

‘’Anak milenial itu cenderung apolitis. Tidak mudah menjadikan mereka sebagai pendukung partai politik. Tapi, sesulit apa pun anak milenial harus diurus dengan serius,’’ komentar saya dalam obrolan tengah malam seminggu sebelum launching acara Digifest.

Saya mengenal secara pribadi Endy Kurniawan. Hubungan kami sangat dekat. Lebih 10 tahun Endy menjadi teman diskusi yang asyik. Kami biasa ngobrol soal bisnis sampai politik. Kadang sambil makan di restoran. Tapi lebih sering bertemu secara virtual. Pun di tengah malam.

Ada dua hal yang membuat generasi milenial ogah dekat-dekat dengan kegiatan politik. Fakta itu saya rekam dari pendapat tiga anak saya yang semuanya milenial. Pertama: citra partai politik yang buruk belakangan ini. Kedua: politikus tua tidak serius (dan tulus) untuk memberi ruang kepada kelompok muda. Ketiga: kegiatan partai politik itu nggak ada yang menarik. Main game malah lebih asyik.

Sebenarnya ada faktor keempat. Tapi saya ragu. Jangan-jangan ini emosional dan subjektif: Orang-orang tua cenderung sok tahu. Sukanya hanya melarang ini dan melarang itu. Menyuruh ini dan menyuruh itu. Padahal mereka nggak ngerti apa-apa tentang dunia anak muda hari ini.

Orang tua memang pernah muda. Tiga puluh tahun lalu. Saat gaya hidup masih konvensional. Olok-olok di kalangan milenial: orang-orang tua itu gayanya kolonial. Orang tua dipersepsi sebagai sosok yang otoriter hanya karena faktor umur. Semua keinginan orang tua harus diikuti hanya karena masalah kultur.

Maka kalau tidak ada kata ‘Gelora’, siapa pun akan sepakat: Digifest 2020 merupakan ajang kreativitas anak muda. Karena ada kata ‘Gelora’, saya jadi tahu: Muda banget dan Indonesia banget menjadi what to say di balik poster Partai Gelora.(jto)

Oleh: Joko Intarto

Penulis adalah redaktur tamu Harian DI’s Way

Digifest dan Partai Digital yang Gelora Tuju

Kendati terkesan hendak memasarkan partai politik dengan rasa batin yang baru, menggeser sedikit aroma keseriusan yang biasanya terhirup kuat di sebuah kegiatan politik menjadi lebih cair bergaya hidup kekinian, Gelora Digifest 2020 sejatinya punya motif pembelajaran internal. Kalau sekedar menjadi partai modern dalam konteks transparansi dan partisipatif, itu sudah cukup terpenuhi dengan disediakannya akses informasi internal partai kepada publik, dan membuka seluasnya kesempatan untuk bergabung – salah satunya lewat website dan mobile app yang siap diunduh di gawai. Sekat antara konstituen dan organisasi partai saat ini telah diruntuhkan oleh teknologi digital: media dan internet. Itulah mengapa tafsir “partai modern” dekat dengan “partai digital”.

Definisi partai modern memang cuma 2 itu kata Andrew Heywood – transparan dan partisipatif – dalam bukunya “Politics”. Tapi menjadi partai digital dalam seluruh aspeknya adalah pekerjaan lain lagi. Ada 5 aktivitas digitalisasi pada sebuah organisasi di riset keluaran McKinsey: (1) Produk & layanan, (2) Pemasaran dan distribusi, (3) Proses bisnis, (4) Ekosistem dan (5) Rantai pasokan. Jadi meski setelah sehari diluncurkan aplikasi Partai Gelora telah diunduh 5000 kali lebih di Android saja – dan jadi trending ke-2 di Playstore – dengan jumlah total pendaftar sebagai anggota berjumlah 3000 orang dan ratusan relawan, itu baru pada aspek pemasaran dan distribusi. Tujuan akhirnya rekrutmen.

Digitalisasi adalah masalah budaya organisasi dan implementasi teknologi. Masih ada 4 hal lain lagi yang mesti diberesin untuk menjadi sepenuhnya partai digital. Dan kesemuanya adalah menyangkut budaya dan manusia. Teknologi hanya ‘enabler’. Misalnya produk dan layanan, seberapa banyak konten narasi, komunikasi, platform perjuangan partai yang tersebar untuk dicerna publik dalam bentuk digital? Apakah seluruhnya telah tersebar dengan variasi medium, ragam sudut pandang, mewakili banyak kepentingan untuk target-target konstituen Partai Gelora?

Demikian juga ciri ke-2 yaitu proses bisnis. Apakah birokrasi yang ringkas, pengambilan keputusan yang cepat berbasis data, postur kepengurusan partai yang ramping dan cara komunikasi dengan publik yang responsif telah menjadi bagian dari keseharian anggotanya? Soal proses bisnis perlu disorot khusus karena di dunia digital ruang eksperimentasi begitu luas. Kecepatan dan keandalan adalah tuntutan baru. Program atau produk tidak perlu menunggu terlalu sempurna untuk diluncurkan ke publik. Tujuannya justru untuk mengukur respon publik yang divalidasi dan dijadikan bahan penyempurnaan.

Dua ciri terakhir yaitu digitalisasi ekosistem adalah soal interkoneksi partai dengan elemen internal dan eksternal yang terhubung dengan internet dan saling mendukung. Contoh dalam produk politik adalah ekosistem big data, metode iuran/ donasi dan jejaring dengan sayap formal dan informal partai. Sementara ciri terakhir yaitu digitalisasi rantai pasokan (supply chain) adalah hubungan ‘contactless’ dengan pihak eksternal yang berkaitan dengan operasional partai. Itulah aktualisasi 4 aspek digitalisasi pada organisasi – diluar 1 aspek yaitu pemasaran dan distribusi – yang telah Partai Gelora jalani.

Ziva, Fico, Turah adalah etalase awal Partai Gelora. Konsep acara dibuat sepenuhnya digital dengan audiens dan narasumber tanpa batasan demografis, ruang dan waktu. Turah di Rusia, pemirsanya di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara. Disusun rencananya hanya 2 pekan sebelum diluncurkan, jumlah anggota tim minimalis, juga anggaran secukupnya. Ada banyak umpan balik tapi pembelajaran dari input itu adalah tujuannya. Begitu juga talent internal yang diekspos keluar dan beberapa narasumber eksternal yang dibawa ke dalam untuk disesap ilmunya. Kita tidak hanya ingin tampak santuy dengan ‘looks’ yang digital tapi ingin jadi partai digital beneran. *Partai Gelora harus menerima kenyataan bahwa pandemi Covid19 telah membuat menjadi digital bukan sekedar pilihan, tapi keharusan. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi dijalani sebagai cara bertahan

Endy Kurniawan

Masyarakat Narasi

Di Mekah, Nabi Muhammad hadir dan berkiprah di tengah masyarakat perniagaan. Masyarakat yang asing dengan apa yang diemban beliau. Apa yang disampaikan Nabi masih berjarak dan belum menyentuh jiwa banyak warga Mekah. Langit narasi Mekah seperti terbelah dengan hadirnya seruan Nabi Muhammad. Dan ini mengusik kemapanan banyak penghuni tanah berdiri kokohnya Baitullah. Jadilah kemudian: resistensi dan perlawanan. Tidak peduli bahwa mereka sebenarnya selama ini mendakwa Muhammad sebagai sosok jujur lagi amanah: Al-Amin.

Di Mekah, narasi yang dibawa Nabi Muhammad membumbung tinggi. Membawa beliau sebagai narator terbaru, terunggul, dan sukar dibantah alias terpercaya. Narasi yang beliau bawa sontak mendapat reaksi para pemilik narasi di Mekah yang berposisi berlawanan dengan seruan Nabi Muhammad. Para pemegang predikat pujangga telah menguji syair-syair terbaik. Para periwayat syair, rapsodis, angkat tangan. Tujuh syair terbaik yang digantung di dinding Ka’bah, as-sab al-mu’allaqat bak gubahan pemula. Belum lagi yang menguji akurasi narasi dari lelaki yang mendakwa sebagai nabi itu. Hasilnya: “syair” yang dibawa Muhammad begitu memesona, otentik, dan sukar dilampaui karya adiluhung sekalipun.

Pada masyarakat narasi, kita dapati aktor tunggal yang menonjol. Aktor yang menggetarkan sekaligus menggerakkan banyak orang. Mengubah dan mengusik tatanan masyarakatnya. Derajat pergetaran maupun perubahannya bergantung pada kualitas narator. Dan Nabi Muhammad amat sangat memadai untuk menjadi narator tunggal.

Menjadi narator tunggal pada masyarakat narasi adalah kewajaran. Untuk perubahan ada yang menarasikan gagasan. Melejitkan pikiran yang berbeda dengan zaman. Atau sebenarnya gagasan pemurnian yang tebersit pada dada-dada insan yang masih memiliki fitrah mengenali mana kebenaran dan mana kepalsuan.

Arus gagasan pada masyarakat narasi memang monolitik. Satu arah untuk menggulingkan tatanan yang ada. Tiada posisi kritik yang terbuka lebar. Sebab, masyarakat narasi lebih menghendaki adanya keterpanggilan jiwa untuk siap mendengar seruan narator. Dus, jadilah pengaruh pada masyarakat narasi itu: kesadaran diri dan komunal. Bahwa kita, entah selaku pribadi ataupun komunal, harus lekas mengikuti narasi yang dikemukakan penuh gelora sang narator.

Namun, pada masyarakat narasi juga ada ujian. Ujian dari ketenaran dan kehendak ingin tampil tunggal. Tabiat masyarakat narasi memang siapa yang paling pertama dan sekaligus signifikan mengubah banyak pemikiran publik. Ada godaan di sini. Beberapa orang baik lagi berilmu tergoda untuk tampil ke depan. Tampil untuk menjadi narator kendati kapasitas yang dimiliki hanya pas-pasan. Jadilah, apa yang disampaikan narator yang bergegas itu hambar bahkan kosong dari permaknaan. Menyimpulkan tanpa kontemplasi memadai. Sekadar mereaksi apa yang dituntut massa walau bukan sebuah hajat penting.

Seorang Nabi Muhammad pantas menjadi suri teladan. Beliau personal hebat bukan semata karena ditugasi sebagai penyeru sekalian hamba-hamba-Nya. Beliau juga hebat lantaran mampu menahan diri untuk tidak jadi orang yang berbangga dan pamer diri kedudukan sebagai narator. Narator pada masyarakat narasi memang niscaya membuatnya tampil melejit. Tapi, dari sini ada godaan sekaligus ujian: seberapa kuat untuk tidak menonjolkan diri agar pribadi kita beserta narasinya dikenal luas?

Masyarakat narasi inilah yang kita hadapi sekarang, seturut masif dan meluasnya penggunaan media sosial maupun gawai. Muslimin ingin tampil seolah jadi narator yang otoritatif dalam satu persoalan. Padahal, yang ada hanyalah ketergasaan untuk membuat nama kita harum diketahui publik. Dan ketenaran ini berbanding lurus dengan pendapatan ekonomi yang masuk ke sang narator!

Pasca-masyarakat narasi adalah ketika orang-orang sudah menjadikan narasi sebagai medan berpikir dan bertindak. Orang tak lagi bergegas. Ada kebutuhan untuk berpikir, menelaah, menguji. Memang masih acak lantaran banyaknya aktor yang menyerukan narasi. Seturut itu, ada diskursus hangat dengan undangan kritik yang meluas. Inilah tabiat masyarakat pengetahuan. Persis seperti kondisi yang disuai Nabi Muhammad kala berhadapan dengan warga Yatsrib alias Madinah.

Orang-orang Madinah sudah jamak paham tentang bakal hadirnya nabi baru. Orang Yahudi—harus diakui secara objektif—turut mengakselerasi terbentuknya masyarakat pengetahuan warga Madinah. Bakal hadirnya nabi baru itu bukan narasi asing bagi warga Yatsrib. Dalam urusan nubuwat kenabian, plus kedudukan sosial, warga Yahudi di Yatsrib dianggap kredibel dan terhormat. Mereka dipandang memiliki pengetahuan sesuai jalur komunitas ahli kitab yang tidak mungkin akan diselewengkan.

Narasi yang diagensikan komunitas Yahudi diterima secara meluas oleh masyarakat Arab Yatsrib yang banyak berlatar pertanian. Konstruksi pengetahuan masa lalu, dan kisah-kisah hebat, memang identik dengan sosiologi masyarakat pertanian. Sering kali dipandang mudah terbujuk hal-hal super mitos. Tapi di sini menariknya: publik Arab Yatsrib mengonstruksi narasi kenabian tidak sebagai mitos. Tidak sebagai narasi baru yang melahirkan narator-narator di luar Yahudi. Narasi yang melahirkan kisah hiperbolis dan superlatif tapi sejatinya hasil menyelewengkan makna kisah otentiknya (Hal yang demikian banyak terjadi di lingkungan agraris di negeri kita, bukan?).

Alih-alih menjadi masyarakat mitos, Arab Yatsrib dari suku Aus dan Khazraj dengan penuh liku dan perjuangan memunculkan masyarakat pengetahuan. Narasi Yahudi yang dipertautkan dengan narasi Nabi Muhammad melahirkan kesadaran tentang kebenaran pada risalah kenabian. Itulah kesadaran yang memunculkan masyarakat pengetahuan, Masyarakat yang disiapkan menuju masyarakat ilmu pada tahap berikutnya. []

Penulis: @SambenLibrary; menjelang syarahan Ketua Umum bareng kawula masyarakat Kota Narasi

Anis Matta: Revolusi Pendidikan Jalan Menuju Visi Lima Besar Dunia

JAKARTA – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mengusung visi menjadikan Indonesia menjadi kekuatan kelima besar dunia. Untuk menuju visi tersebut, partai besutan Anis Matta dan sejumlah politisi lainnya itu membawa agenda utama, yakni Revolusi Pendidikan.

Karena itu, ungkap Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Muhammad Anis Matta dalam acara Angkringan Virtual Partai Gelora, Sabtu (13/6/2020) dalam agenda strategis partai, dirinya ingin menekankan sejak awal bahwa agenda utama untuk sampai kelima besar dunia itu adalah melakukan revolusi pendidikan.

Menurut Anis Matta, revolusi pendidikan merupakan bagian penting menciptakan fondasi Indonesia menjadi kekuatan kelima besar dunia. Fondasi itu adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat inovasi dunia.

“Fondasi pertamanya adalah bagaimana menjadikan Indonesia sebagai inovasi dunia,” ujar penyuka buku Soekarno Hatta itu lagi.

Selain itu, Anis menekankan pentingnya revolusi mental. Perwujudan dari revolusi mental itu adalah melepaskan akal Indonesia ini dari sangkar tirani dan sangkar taklid.

“Politik tirani dan juga taklid dalam agama harus dilepaskan Indonesia dari sangkar agar terbang ke langit angkasa di ruang besar. Aktivasi akal Indonesia diberi ruang penciptaan yang bebas dengan begitu Insyaa Allah Indonesia akan menjadi salah satu pusat inovasi dunia,” pungkasnya.

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X