Kategori: Gelora Terkini

Partai Gelora: Di Pemilu 2024, Pemuda Jangan Jadi Objek Lagi, Tapi Harus Jadi Subjek dalam Politik

, , , , , , , ,

Partagelora.id – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia berharap peran aktif pemuda dalam Pemilu 2024 mendatang agar tidak lagi menjadi objek, tetapi subjek dalam politik.

Sehingga terjadi gelombang perbaikan dan pembaruan terhadap perasaan masyarakat, yang menginginkan Indonesia lebih makmur, maju dan tegaknya negara berdasarkan hukum.

“Jadi kita melihat, bahwa salah satu inti utamanya itu adalah pemuda ini jangan jadi objek. Jadi dia bukan lagi menjadi objek, tetapi adalah subjek pelaku dalam politik,” kata Rico Marbun, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPN Partai Gelora dalam diskusi Gelora Talk bertajuk ‘Pemilih Muda dan Konstestasi Pemilu 2024, Apa Harapan Mereka?, Rabu (15/3/2023) sore.

Karena itu, kata Rico, kenapa pemuda saat ini paling dominan dalam menolak isu penundaan Pemilu 2024. Sebab, pemuda memiliki keberanian, baik dalam hal pemikiran maupun tindakannya secara langsung.

Dimana pemuda melihat perlunya pergantian kepemimpinan saat ini agar ada perbaikan kondisi sekarang, sehingga pemilu harus sesuai jadwal.

Hal inilah yang menyebabkan masyarakat optimis, bahwa pembaruan tersebut bisa diperjuangkan dalam Pemilu 2024 mendatang. Tetapi, syaratnya harus ada pelibatan secara aktif pemilih muda.

“Situasi kita kan gini-gini saja terus, kita penghasil sawit terbesar di dunia, tetapi minyak goreng langka dan mahal. Kita negara agraris, tapi beras mahal dan impor, belum lagi batubara. Hal inilah yang mendorong kita membuat partai, karena solusinya memang politik. Dan kita akan melibatkan pemilih muda secara aktif,” katanya.

Ketua Bappilu Partai Gelora ini mengungkapkan, jumlah pemilih muda saat ini mencapai 60 persen dari jumlah pemilih secara keseluruhan. Sehingga menjadi pasar yang sangat potensial untuk diperebutkan suaranya dalam Pemilu 2024.

“Pemilih muda itu mencapai angka yang sangat besar, sekitar 60 persen. Jika melihat demografis, itu usianya antara 17-40. Jadi artinya dari dua pertiga pemilih, 60 persen itu pemilih muda, itu pangsa pasar yang sangat besar. Ini yang akan diperebutkan oleh semua partai politik, termasuk Partai Gelora,” ujarnya.

Sehingga Partai Gelora yang mendapat nomor urut 7 dalam Pemilu 2024 berpandangan ini, bahwa pemuda harus menjadi subjek dalam politik, tidak menjadi komoditas politik, karena besarnya jumlah demografi tersebut.

“Kita jangan terjebak terus dari sisi demografi, istilahnya hanya memperjuangkan aspirasi generasi muda terus, tetapi harus ada pelibatan secara aktif pemuda atau pemilih muda,” katanya.

Rico Marbun mengingatkan terhadap pihak-pihak yang terus mendorong isu-isu penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden, bisa memicu para pemuda untuk melakukan perlawanan.

“Saya khawatir indeks optimisme jadi indeks perlawanan. Ini hasil riset yang kami lakukan, bahwa dalam menjawab isu-isu yang tidak bertanggung jawab, seperti penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Mudah-mudahan hadirnya Partai Gelora ini ini bisa menjawab tuntutan dan kegelisahan dari generasi muda,” pungkasnya.

Indeks Turun Drastis

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, indeks optimisme masyarakat terhadap kondisi Indonesia saat ini turun drastis dari 64 persen menjadi 3,6 %. Penurunan tersebut, disumbang dari indeks politik dan hukum dari 28,1 persen menjadi minus 10,2 %.

“Generasi muda nampaknya tidak terlalu optimis, bahkan minus. Ini pekerjaan rumah kita untuk mengembalikan optimisme anak muda terhadap kondisi politik dan hukum di Indonesia,” kata Hendri Satrio (Hensat).

Untuk mengembalikan optimisme itu, menurut Hensat, pendekatannya adalah melalui pendekatan hukum, dimana hukum tidak boleh diskriminatif atau tebang pilih lagi. Disamping itu, pemerintah juga harus bersih-bersih terhadap para pejabatnya yang saat ini menjadi sorotan publik.

Selanjutnya, kata Hensat, yang bisa mendorong anak-anak muda berpartisipasi dalam politik, yakni adanya kepedulian terhadap pekerjaan, karir, pendidikan, keinginan memiliki rumah dan penghasilan.

“Jika harapan-harapan itu tidak bisa dipenuhi pemerintah, maka optimisme anak muda terhadap Indonesia akan turun. Ini harus menjadi konsen Partai Gelora, jika ingin mendapatkan suara anak muda,” kata pengamat KedaiKopi ini

Hensat berharap Pemilu 2024 bisa dilaksanakan dengan gembira agar semua orang bisa berparsipasi, tidak ada ketakukan dalam menyambut pesta demokrasi ini.

“Saya ingin meminta dan mengajak masyarakat Indonesia untuk menyambut kembali pelaksanaan pemilu yang gembira. Inti dari pemilu itu, pesta demokrasinya gembira, kebahagian dan kegembiraan,” kata juru bicara Anies Baswedan ini.

Sedangkan Peneliti Kelompok Riset Pemuda, Modal Manusia dan Masa Depan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anggi Afriansyah mengungkapkan, ada kecenderungan anak-anak muda sejak 2014 mulai tertarik pada isu-isu pemilu.

“Jadi kalau partai politik mau mendapatkan suara dari anak muda juga harus menyasar mereka yang ada di desa-desa, karena mereka tidak memiliki akses terhadap media sosial,” kata Anggi.

Anak-anak muda di desa, lanjut Anggi, secara tradisional menurut apa yang dikatakan orang tua mereka, termasuk dalam pilihan politik.

Sehingga diperlukan strategis pendekatan khusus terhadap anak muda di desa, apabila ingin pilihan politiknya berbeda dengan orang tuanya.

“Menurut saya partai yang bisa menggarap serius isu-isu yang menjadi problematika anak muda akan menjadi partai masa depan. Jadi kita harus sabar dalam melakukan pendidikan politik ke anak muda, tantangannya berat. Panennya bukan dalam kontestasi 2024, tapi akan datang karena konteksnya membangun bangsa. Itu kita menggarap anak muda secara demografi secara serius,” katanya.

Sebaliknya, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) Raihan Ariatama mengatakan, preferensi pilihan politik anak muda sekarang, berbeda dengan orang orang tuanya. Orang tua sekarang tidak bisa memaksakan pilihan politiknya kepada anak mereka.

“Saya yakin anak muda sekarang berani berbeda dengan orang tua sekalipun, itu dimulai saat memilih jurusan saat kuliah. Meskipun orang tua meminta kita di jurusan lain, di kampus lain. Kita tetap pilih sesuai yang kita inginkan, termasuk dalam preferensi pilihan politik, orang tua tidak bisa memaksa lagi pilihannya,” kata Raihan Ariatama.

Partai Gelora Minta Presiden Keluarkan Perppu Alihkan Peradilan Pajak ke Mahkamah Agung

Partaigelora.id – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar segera bertindak, dan bila perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu untuk mengeluarkan Peradilan Pajak dari Eksekutif kepada Yudikatif, yaitu di bawah Peradilan Tata Usaha Negara/PTUN, sesuai UUD 1945.

“Saya percaya Pak Jokowi, sedang fokus menyoroti berbagai masalah di Kementerian Keuangan. Saya kira masih cukup waktu masa jabatan Bapak untuk mengajukan revisi UU 14/2002. Mari kita benahi problem hulu yang membuat pegawai pajak full power,” kata Fahri Hamzah dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/3/2023).

Harapan ini disampaikan Fahri Hamzah, terkait merebaknya kasus kejahatan perpajakan di Indonesia, mulai kasus penganiayaan yang melibatkan anak pejabat pajak, gaya hidup hedon Dirjen Pajak dan jajarannya, sampai bocoran tentang data transaksi mencurigakan sebesar Rp300 Triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang diungkap Menko Polhukam Mahfud MD, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, Fahri mengatakan, Partai Gelora yang memiliki nomor urut 7 dalam Pemilu 2024 ini berpandangan, bahwa pengadilan pajak jelas bagian dari kekuasaan kehakiman berdasar Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yaitu pengadilan khusus di lingkungan PTUN yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA).

Sayangnya, dengan adanya lembaga pengadilan pajak di Kemenkeu telah menimbulkan dualisme sistem pembinaan terhadap Badan Peradilan yang berada di bawah MA.

“Logika hukum apa yang membuat kita bisa menerima selama ini mentolelir penyelenggaraan peradilan pajak berada di kamar eksekutif (Kemenkeu). Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu berada di Mahkamah Yudikatif. Saya membaca dengan teliti apa yang membuat UU No. 14 Tahun 2002 meletakkan peradilan pajak di kementerian Keuangan. Saya juga membaca dengan teliti seluruh risalah sidang pembentukan UU tersebut. Risalah sidang dalam pembentukan UU adalah bagian tak terpisahkan dari UU itu sendiri,” bebernya.

Dualisme ini, menurut Fahri yang juga mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, mengakibatkan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi pengadilan pajak berada di Departemen Keuangan (eksekutif).

Hal itu secara langsung berdampak terhadap tidak adanya kewenangan MA melakukan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan terhadap pengadilan pajak.

“Ketentuan tersebut telah men-down grade MA dalam kedudukannya sebagai peradilan tertinggi atas badan-badan peradilan dibawahnya. Logika hukum apa yang membuat kita bisa menerima selama ini mentolelir penyelenggaraan peradilan pajak berada di kamar eksekutif (Kemenkeu). Pasal No. 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu berada di Mahkamah Yudikatif,” tegas Fahri.

Padahal pandangan pemerintah yang dibacakan oleh Boediono sebagai Menkeu kala itu, dengan tegas menyebutkan bahwa dalam jangka waktu 5 tahun setelah UU disahkan, peradilan pajak akan berangsur angsur akan sepenuhnya dialihkan ke Mahkamah Agung.

Bahkan dalam berbagai pandangan fraksi saat pengesahan UU itu menyadari ada yang salah dari sistem peradilan pajak di Kemenkeu.

“Akan tetapi karena perangkat yang dibutuhkan di Mahkamah Agung belum sepenuhnya memadai, maka hal itu ditolelir untuk sementara. Sehingga berbagai fraksi menyampaikan pendapatnya kala itu bahwa proses peralihan peradilan pajak ke Mahkamah Agung harus dilakukan lebih cepat lagi dari 5 tahun. Namun kini sudah 21 tahun setelah UU 14/2002 disahkan, peradilan pajak masih di kamar eksekutif,” katanya.

Menurut Wakil Ketua DPR Periode 2009-2014 ini, pengadilan pajak di tangan eksekutif menyebabkan masuknya kekuasaan pemerintah in casu (dalam hal ini) Menkeu, hingga ke dalam sendi-sendi pengadilan pajak yang secara nyata-nyata telah menabrak prinsip-prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka.

“Ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 nyata-nyata bertentangan baik dengan Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 sebelum Amandemen maupun dengan Ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 pasca amandemen, karena menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif,” pungkas politisi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Partai Gelora Minta Publik Waspadai Rencana RUU Omnibuslaw Kesehatan Tempatkan Pemilik Modal Kuasai Sektor Kesehatan Publik

, , , , ,

Partaigelora.id – Perkembangan layanan kesehatan di Indonesia masih belum membanggakan. BPS mencatat keberadaan rumah sakit di Indonesia pada tahun 2021 terdapat 3.112 rumah sakit di Indonesia, sementara jumlah penduduk mencapai 275,7 juta pada November 2022 lalu.

“Artinya, rasionya sangat tidak berimbang dimana 1 rumah sakit melayani 88.367 penduduk,” kata Achmad Nur Hidayat (ANH), Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam keterangannya, Senin (13/3/2023).

Menurut ANH, jika melihat kondisi saat ini, pelayanan kesehatan Indonesia ternyata masih jauh dari apa yang diamanahkan oleh UUD NRI 1945 seperti pasal 28 H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3.

“Banyak sekali masyarakat yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan secara layak dan baik. Bagi orang kecil kondisi tersebut diterima dengan pasrah, sementara bagi orang berduit akan mencari layanan kesehatan terbaik di luar negeri,” katanya.

Ia menilai sindiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat meresmikan Rumah Sakit (RS) Mayapada beberapa waktu lalu, yang menyampaikan bahwa masih banyak masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri, harusnya menjadi instropeksi bagi pemerintah sendiri untuk meningkatkan pelayanan sektor kesehatan.

Dalam kesempatan itu, Presiden menyebutkan hampir 2 juta WNI setiap tahun berobat ke rumah sakit di negara lain seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Jerman, dan lain-lain. Presiden juga mengeluhkan ada pontential income/devisa loss sebesar Rp165 triliun akibat WNI yang berobat keluar negeri.

“Presiden ingin Rp165 triliun tersebut tetap ada di Indonesia, bukan ke Malaysia, Singapore, Jepang dan Jerman. Tetapi, pidato itu juga memiliki arti lain bahwa dana Rp165 triliun itu harus jatuh ke pengusaha rumah sakit dan alat kesehatan nasional daripada memang niat memperbaiki sektor kesehatan Indonesia,” ujarnya.

Bahkan, kata MadNur-sapaan akrab Achmad Nur Hidayat, keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selama ini justru lebih dinikmati oleh pemilik modal RS maupun pengusaha obat dan alat kesehatan (alkes), ketimbang dinikmati masyarakat secara keseluruhan dan memperbaiki sektor kesehatan Indonesia.

Evaluasi terhadap BPJS

Dalam Evaluasi BPJS Kesehatan Indonesia, menyebutkan bahwa 40% dana BPJS tersebut jatuh ke pemilik RS, 40% jatuh ke pemilik industri alkes dan obat-obatan dan 20% jatuh ke layanan jasa tenaga medis.

Jika mau dibongkar, pemilik modal baik RS maupun Industri obat sudah mendapatkan manfaat 80% dari biaya BPJS yang dibayar melalui iuran rakyat dan APBN.

“Kini pemilik modal berusaha ingin mendapatkan fasilitas lebih lagi melalui RUU Omnibuslaw Kesehatan. Mereka berupaya membajak RUU Omnibuslaw kesehatan untuk kepentingan memperkaya diri dibalik keinginan mempercanggih layanan kesehatan publik,” kata MadNur yang Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute ini.

Partai Gelora yang mendapat nomor urut 7 sebagai peserta Pemilu 2024 ini berpandangan, para pembuat kebijakan kesehatan seharusnya mewaspadai hal ini.

Sebab, perbaikan kesehatan publik tidak boleh memiskinkan keuangan negara dan memiskinkan masyarakat untuk memperkaya pemilik RS dan pengusaha alat kesehatan dan obat-obatan.

“Publik sadar bahwa kehadiran pemilik dan pengusaha sektor kesehatan diperlukan dan sangat penting mendukung reformasi kesehatan Indonesia, namun bukan berarti pemilik modal tersebut dapat membeli penguasa demi keuntungan yang tidak seimbang antara publik dan pihak pemilik modal,” ujarnya.

Sekarang, menurutnya, bukan sekedar kalangan menengah bawah dapat mendapatkan layanan kesehatan yang layak, namun sekarang diperlukan pembagian share keuntungan yang baik antara publik dan pemilik modal.

“Saat ini terlihat dana BPJS jatuh lebih banyak kepada pemilik-pemilik modal baik pemilik rumah sakit ataupun pengusaha alkes dan obat-obatan dibandingkan kepada publik,” ungkapnya.

Perkaya Pemilik Modal Kesehatan

Ia menyayangkan tidak adanya perdebatan dalam pembahasan RUU Omnibuslaw Kesehatan yang tengah dibahas DPR bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat ubu. Sehingga publik minim dalam memberikan tanggapan RUU Omnibuslaw Kesehatan tersebut.

MadNur menegaskan, draf RUU Omnibuslaw Kesehatan berpotensi memiskinan publik dan memperkaya pemilik modal kesehatan dan memunculkan kediktatoran di sektor kesehatan.

“Di pasal 4 ayat (2) RUU tersebut warga negara tidak diberikan hak untuk menentukan layanan kesehatannya sendiri, tapi dipaksa untuk mengikuti mengikuti tindakan yang dilakukan pemerintah yang belum tentu cocok dengan treatment yang semestinya diberikan kepada individu-individu yang mempunyai imunitas dan kondisi yang berbeda-beda,” jelasnya

Sementara di pasal 5 RUU tersebut negara bisa melakukan tindakan paksa dan sewenang-wenang tanpa akuntabilitas yang dapat disalahgunakan.

Seperti memaksakan penggunaan vaksin yang faktanya vaksin itu eksistensinya untuk mencegah orang agar tidak sakit, bukan mencegah orang agar tidak tertular.

Apalagi pada pasal 383 akan menjadi pintu masuk adanya kongkalikong dengan pengusaha farmasi dalam rangka pemberian kekebalan sebagai dalih pembenaran padahal secara ilmiah imunitas itu diberikan oleh tubuh manusia itu sendiri melalui sistem imun.

“Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memastikan masyarakat bisa melakukan pola hidup sehat dan mendapatkan cukup nutrisi sehingga mempunyai sistem imun yang baik,” pungkas ANH.

Partai Gelora Soroti Pemberian Izin Orang Asing Tinggal 10 Tahun di IKN yang Dapat Diperpanjang

, , , , , ,

Partaigelora.id – Kabar mengejutkan muncul terkait pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kabupaten Penajam Passer Utara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Pemerintah membolehkan Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk bekerja selama 10 tahun dan izin tersebut dapat diperpanjang.

Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2023 Tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara.

“Ada apa pemerintah tiba tiba mengeluarkan PP No.12 Tahun 2023. Pemerintah memberikan karpet merah bagi TKA dan warga negara asing (WNA) di Proyek IKN,” Achmad Nur Hidayat, Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam keterangannya, Jumat (10/3/2023).

Menurutnya, hal ini akan membuka ruang yang berbahaya bagi keamanan dan kedaulatan bangsa Indonesia.

“Ini merupakan karpet merah bagi TKA asing di IKN. Dalam beleid PP tersebut, jelas disebutkan, bahwa TKA diperbolehkan untuk tinggal dan bekerja selama 10 tahun lamanya. Dan Waktu kerjanya pun bisa diperpanjang,” katanya.

Ia menjelaskan, pelaku usaha yang melakukan pekerjaan proyek strategis milik pemerintah di IKN dapat mempekerjakan TKA. Mereka dibebaskan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA untuk jangka waktu tertentu tercantum dalam pasal 22 ayat 4.

“Hal ini benar-benar menyerahkan kedaulatan bangsa kita, ibukota negara kepada bangsa lain. Ini adalah betul-betul satu kebijakan yang amat berbahaya yang mengancam kedaulatan bangsa,” katanya.

Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelora ini meminta Komisi I DPR segera bertindak cepat dengan memanggil pemerintah untuk meminta keterangan secara utuh tentang PP tersebut.

“PP ini sangat berbahaya dan mengancam kedaulatan Bangsa Indonesia dengan masuknya para TKA ke bumi Nusantara,” kata MadNur, sapaan akrab Achmad Nur Hidayat.

Jika Komisi I DPR tidak segera memanggil pemerintah, lanjut MadNur, maka kedaulatan bangsa Indonesia dipertaruhkan. Bukan tidak mungkin di ibu kota negara yang baru ini, akan memunculkan berbagai gangguan ancaman pertahanan dan keamanan Bangsa, termasuk keselamatan presiden, wakil presiden, jajaran menteri dan pejabat negara lainnya.

“Jika itu sampai terjadi maka Indonesia akan kembali seperti sebelum tahun 1945 dimana bangsa kita dijajah oleh bangsa asing dan Indonesia kembali menjadi negeri terjajah,” tegas MadNur.

Pesanan Oligarki

Dalam kesempatan ini, Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelora Achmad Nur Hidayat mengatakan, orang asing nantinya akan mendominasi IKN daripada pribumi.

PP No 12 Tahun 2023 dinilai juga menabrak banyak aturan perpajakan dan insentif pajak dan berpotensi menurunkan pendapatan negara di masa depan.

“PP No. 12 Tahun 2023 ini seolah-olah sedang mengobral insentif pajak kepada investor IKN dan mengabaikan potensi penerimaan di masa depan,” ujarnya.

Padahal aturan UU Perpajakan tidak pernah menyebutkan adanya insentif berupa pengurangan pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar 100 persen bagi perusahaan di bidang infrastruktur dan layanan umum.

Namun dalam PP No.12 Tahun 2023 pasal 28 (1) disebutkan bahwa perusahaan yang beroperasi Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara tidak akan ditarik PPh badannya alias NOL.

Dalam Pasal 28 disebutkan, pemberian fasilitas pembebasan PPh Badan 100 persen ini berlaku untuk perusahaan dalam negeri, bukan untuk investor asing.

“Ini jelas negara akan kehilangan potensi penerimaan negaranya yang sebenarnya rasio pajak Indonesia masih sangat rendah,” ungkapnya.

Syaratnya, pembebasan PPh Badan 100 persen bisa diberikan jika nilai penanaman modalnya minimal Rp10 miliar. Fasilitas ini hanya berlaku untuk bidang usaha yang memiliki nilai strategis untuk mempercepat pembangunan dan pengembangan IKN, meliputi infrastruktur dan layanan umum, bangkitan ekonomi dan bidang usaha lainnya.

“Namun, publik melihat aturan PP No. 12 Tahun 2023 adalah aturan yang “dipesan” oleh para oligarki nasional dibidang properti agar mereka dapat memperkaya diri sendiri. PP No.12 Tahun 2023 sarat dengan kepentingan mereka dan merugikan kepentingan nasional dan menghilangkan potensi penerimaan negara,” papar MadNur.

Partai bernomor urut 7 peserta Pemilu 2024 ini, kata Madnur, berharap jika terjadi perubahan kepemimpinan nasional pada 2024 mendatang, maka presiden terpilih harus mencabut dan membatalkan PP No.12 Tahun 2023 tersebut.

“Bila terjadi perubahan kepemimpinan nasional, ini adalah peraturan yang harus segera dibatalkan karena lebih banyak kerugiaannya bagi publik dan bagi penerimaan nasional,” pungkasnya.

Partai Gelora: Penundaan Pemilu Melanggar Konstitusi, UU Pemilu dan UU Kekuasaan Kehakiman

, , , , ,

Partaigelora.id – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menegaskan, putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Pusat) yang memutuskan penundaan Pemilu 2024 dinilai telah melanggar Konstitusi, Undang-undang (UU) Pemilu dan UU Kekuasaan Kehakiman.

Diketahui, putusan PN Jakpus tersebut, mengabulkan gugatan yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) agar KPU RI menghentikan seluruh tahapan Pemilu dan mengulangnya dari awal. Pemilu 2024 ditunda hingga 2 tahun 4 bulan 7 hari atau hingga Juli 2021.

“Ada tiga perspektif yang dilanggar dari putusan PN Jakarta Pusat. Pertama perspektif Konstitusi, kedua perspektif Undang-undang Pemilu, dan ketiga perspektif Undang-undang Kekuasaan kehakiman,” Amin Fahrudin, Ketua Bidang Hukum DPN Partai Gelora Indonesia dalam Gelora Talks bertajuk ‘Kontroversi Tunda Pemilu 2024: Mengapa dan Ada Apa?’, Rabu (8/3/2023).

Menurut Amin, tujuan Pemilu merupakan norma yang diatur di dalam Undang-undang Dasar (UUD) NRI 1945. Sehingga ketentuan Pemilu ini, tidak hanya menjadi norma hukum, tapi juga menjadi norma Konstitusi.

“Tidak ada peradilan manapun itu, yang bisa mengubah norma dalam Pemilu di dalam Konstitusi, kecuali Sidang Istimewa MPR dalam Sidang Amandemen Konstitusi. Jadi PN Jakarta Pusat telah mengubah norma Konstitusi, itu seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh MPR,” ujarnya.

Karena itu, putusan PN Jakpus yang menunda Pemilu 2024 tersebut, cacat hukum dan merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi. “Karena itu, kita abaikan saja putusan itu (putusan PN Jakpus),” katanya.

Sedangkan dalam perspektif UU Pemilu, kata Amin, ketika ada pelanggaran dan sengketa Pemilu, ada empat jalur ajudikasi yang bisa ditempuh.

Pertama, ketika terjadi pelanggaran pidana Pemilu, prosesnya di Bawaslu. JIka tidak selesai, maka berlanjut ke Pengadilan Negeri sampai ke Mahkamah Agung.

Kedua, ketika terjadi pelanggaran etik yang dilakukan penyelenggara Pemilu, maka prosesnya ada di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga, ketika terjadi sengketa hasil, itu prosesnya ada di Mahkamah Konstitusi (MK).

Keempat, ketika ada terjadi pelanggaran terhadap proses atau tahapan Pemilu, maka peradilannya setelah dari Bawaslu bisa mengupayakan hukum lebih lanjut kepada peradilan administrasi atau PTUN, jika merasa dirugikan.

“Artinya ketika kita mendengar adanya putusan dari PN Jakarta Pusat dalam perkara perdata ini jelas melanggar UU Pemilu,” katanya.

Sementara dari perpektif UU Kekuasaan Kehakiman, lanjut Amin, telah diatur Sistem Peradilan Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Nah, PTUN ini yang mengadili putusan atau keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat individual dan konkret yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara. Dan keputusan KPU ini merupakan produk dari pejabat,” jelasnya.

Jika upaya hukum di Bawaslu ditolak, kemudian di PTUN gugatannya tidak dapat diterima, maka Partai Prima bisa melanjutkan upaya hukum yang dia PTUN, yakni banding.

“Seharusnya yang dilakukan Partai Prima melanjutkan upaya hukum yang ada di PTUN, yaitu melakukan banding kepada PTUN,” kata Amin.

Bahkan, dikatakan Amin, Prima bisa terus melakukan upaya hukum hingga upaya kasasi ke Mahkamah Agung atau MA.

Lebih lanjut, Amin mengatakan ketika putusan PN Jakpus dalam perkara perdata keluar dan berimplikasi pada perubahan norma dalam konstitusi menimbulkan tanda tanya besar.

“Apakah ini hanya sekadar kekeliruan dalam pandangan dan pertimbangan majelis semata-mata. Atau ada sesuatu yang lebih besar yang menggunakan instrumen hukum peradilan perdata untuk menunda pemilu?” tandasnya.

Serius Banding

Sementara itu, Mantan Ketua KPU RI Ilham Saputra mengatakan KPU harus serius mempersiapkan proses banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan pemilu.

“Nah, saya berharap betul sebetulnya KPU kemudian memastikan seluruh proses berjalan (untuk mengajukan banding) dipersiapkan dengan baik,” kata Ilham Saputra.

Dia mengharap itu karena sempat mendengar rumor KPU tidak sungguh-sungguh mempersiapkan proses banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut.

“Ya tentu ini harus dijawab dengan persiapan melakukan gugatan banding, dipersiapkan dengan sangat matang,” katanya.

Ilham mengatakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku seharusnya putusan penundaan pemilu tidak sesuai dengan UUD NRI 1945, Undang-Undang Pemilu, bahkan Peraturan Mahkamah Agung.

Namun, lanjut dia, KPU juga tidak bisa mengabaikan begitu saja produk hukum berupa putusan tersebut dibiarkan, meski saat ini tahapan pemilu tetap dapat berjalan semestinya.

“PN yang memutuskan bukan kewenangannya, seharusnya melawan hukum, tetapi memang saya kira ini tetap berjalan proses (harus ditanggapi dengan banding sampai ada putusan yang membatalkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut),” ujarnya.

“Nah, saya juga tidak mengerti bagaimana PN Bisa memutuskan penundaan pemilu yang seharusnya itu bukan kewenangannya sama sekali. Saya kira semua pihak terkait penyelenggaraan pemilu juga seirama, pemerintah, yang menyatakan pemerintah tetap mendukung proses jalannya pemilu,” imbuhnya.

Aktivis Hukum dan Akademisi Indonesia Feri Amsari mengatakan, PN Jakpus dinilai melampaui kewenangannya, karena masing-masing peradilan memiliki kewenangan absolut, tidak boleh peradilan lain mengadili kewenangan peradilan lain.

“Ini sama kalau ada kasus perceraian yang melibatkan anggota militer. Pengadilan Militer tidak boleh menyidangkan kasus perceraian, urusan bercerai bukan kompetensi absolutnya,” kata Feri.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini menilai gugatan Partai Prima mengenai prosedur penyelenggaraan Pemilu, merupakan kompetensi PTUN, bukan kompetensi PN Jakpus.

“Perbuatan melanggar hukum atau PMH, itu sudah ditentukan di dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2019, bahwa segala PMH harus dialihkan ke PTUN. Jika PTUN sudah menyidangkan dan putusannya tidak dapat diterima, harusnya diterima Partai Prima. Putusan PN Jakpus itu, jelas melanggar peraturan Mahkamah Agung. Putusannya luar biasa janggalnya,” katanya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khairunnisa Agustyati menambahkan, putusan PN Jakpus tidak bisa dieksekusi, karena di dalam konstitusi disebutkan, bahwa Pemilu itu bukan hanya Langsung, Umum Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil saja, tetapi juga dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

“Perintahnya setiap 5 tahun sekali, kenapa? Ya untuk sirkulasi kepemimpinan kita. Hal ini juga menjadi evaluasi bagi pejabat publik kita, kalau kita suka dengan performanya, kita pilih lagi. Tapi kalau kita tidak suka, ya tidak dipilih lagi. Jadi ini salah satu alasan kenapa pemilu harus dilaksanakan secara periodik,” kata Khairunnisa.

Partai Gelora Tawarkan Koalisi Rekonsiliasi, Anis Matta: Format Koalisi yang Dibicarakan Sekarang Memperdalam Pembelahan

Partaigelora.id – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengingatkan perlunya format koalisi baru, koalisi rekonsiliasi segera dibentuk dalam proses politik demokrasi Indonesia saat ini. Menurutnya, koalisi yang sekarang dibicarakan berpotensi memperdalam pembelahan di tengah masyarakat dan membawa ancaman disintegrasi bangsa.

“Koalisi rekonsiliasi mengedepankan persatuan dan kepentingan nasional di atas persaingan politik. Koalisi ini akan mengirim pesan yang kuat ke masyarakat untuk mengakhiri pembelahan yang menjadi residu sosial sejak pilkada DKI 2017 hingga pilpres 2019,” ujar Anis Matta dalam keterangannya kepada pers, Rabu (8/3/2023).

Anis Matta kembali mengingatkan, bahwa dunia kini tengah dilanda krisis global berlarut yang dipicu oleh runtuhnya sistem lama kapitalisme liberal, namun sistem yang baru belum terbentuk.

Apalagi, pada saat yang sama dunia menjadi ajang konflik supremasi antara Amerika Serikat dan China.

“Krisis yang kita hadapi saat ini merupakan bagian dari siklus perubahan sistem global setiap 100 tahunan. Dimensinya sangat luas dan lama. Perubahan ketika dunia memasuki abad ke-20 saja baru selesai sekitar tahun 1950-an ketika Perang Dunia II selesai dan dunia memasuki tatanan global baru yang dipimpin oleh Barat melalui PBB, Bank Dunia, dan IMF. Sekarang sistem ini sudah berkarat dan goyah,” terang Anis Matta.

Karena itu, lanjut Anis Matta, elite di Indonesia harus berkonsolidasi dalam agenda-agenda besar menghadapi krisis global ini, bukannya larut dalam akrobat politik wacana koalisi yang malah memperdalam polarisasi dan berpotensi membawa ancaman disintegrasi bangsa.

“Indonesia harus berada di tengah pusaran perubahan global yang terjadi. Selama ini kita hanya berada di pinggir dan malah menjadi collateral damage dari berbagai konflik supremasi karena negara kita lemah dan tidak terkoneksi dengan konstelasi politik global yang sesungguhnya tengah terjadi. Ke depan, kita harus duduk di meja perundingan utama dunia dan itu bisa terjadi jika kita menjadi superpower baru di dunia,” paparnya lagi.

Konsolidasi elite itu hanya bisa terjadi jika wacana koalisi yang berkembang menjelang Pemilu 2024 adalah koalisi rekonsiliasi, bukan koalisi yang berujung pada penebalan polarisasi dan disintegrasi.

Tanpa elite yang terkonsolidasi dalam agenda-agenda besar, Indonesia tetap akan lemah dan hanya menjadi obyek penyerta dalam setiap perubahan global.

Padahal, kata Anis, dalam situasi transisi seperti inilah, kesempatan Indonesia untuk menyodok menjadi kekuatan utama dunia.

“Kesempatan ini hanya datang 100 tahun sekali. Semua tergantung kita. Apakah kita ingin terus-menerus bertengkar dan terpecah belah, atau kita melakukan rekonsiliasi dan menjadi kekuatan yang solid untuk menghadapi krisis global dan menjadi superpower baru. Inilah tanggung jawab para pemimpin untuk mengambil keputusan yang benar,” pungkas Anis Matta.

Partai Gelora Desak MA Keluarkan Fatwa Terkait Putusan PN Jakpus agar Tidak ada Chaos Hukum

, , , , ,

Partaigelora.id – Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) menunda Pemilu 2024 telah mengundang gejolak besar di tengah publik. Sebab, putusan hakim tersebut, menyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bersalah tidak meloloskan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dalam proses verifikasi partai politik (parpol)

Sehingga KPU dihukum untuk menunda Pemilu 2024 selama 2 tahun 4 bulan 7 hari atau hingga Juli 2025, dan meminta seluruh tahapan Pemilu dihentikan dan diulang kembali.

“Keputusan ini benar benar kontroversial dan sulit diterima akal sehat. Bagaimana Pengadilan Negeri bisa mengeluarkan putusan untuk menunda Pemilu yang diluar kewenangannya,” kata Achmad Nur Hidayat, Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam keterangannya, Senin (6/3/2023).

Menurut dia, ada yang lucu dan aneh dalam putusan PN Jakpus, karena bagaimana partai yang secara persyaratan tidak lolos verifikasi oleh KPU justru dimenangkan oleh pengadilan negeri.

KPU sendiri dalam melaksanakan tugasnya terkait verifikasi parpol baik administratif maupun faktual merujuk kepada aturan UU. Jika ada partai yang tidak lolos, mestinya membawa bukti-bukti yang dimilikinya kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Jika bukti yang dimiliki partai Prima kuat bahwa memang dirugikan oleh KPU, maka tentunya partai Prima bisa memiliki argumentasi yang kuat seperti pada partai Ummat. Partai Ummat kemudian lolos sebagai peserta pemilu,” katanya.

MadNur-sapaan akrab Achmad Nur Hidayat mengatakan, akhirnya banyak yang berspekulasi bahwa menangnya Partai Prima terhadap KPU di duga ada kongkalikong.

Diketahui bahwa Ketua Umum Partai Prima Agus Jabo Priyono adalah sahabat dekat dari Budiman Sudjatmiko, kader PDIP yang pada tahun 1996 sama sama mendirikan PRD Partai Rakyat Demokratik.

Namun, PRD sendiri tidak pernah lolos menjadi peserta Pemilu 1999. Kemudian, kader PRD masuk parpol lainnya seperti Budiman Sujatmiko ke PDIP, Andi Arief ke Partai Demokrat, Faizol Reza ke PKB dan lain-lain.

Sementara Agus Jabo Priyono yang pernah menjabat Ketua Umum PRD mendirikan Partai Prima agar bisa ikut pada pemilu 2024, namun akhirnya gagal lolos verifikasi.

Selain itu, Partai Prima diisi oleh mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI yang kini duduk sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai, yakni Majyen Purn TNI R Gautama Wiranegara.

Gautama merupakan mantan petinggi BIN dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Kontra Separatisme Deputi III BIN. Selama menjadi prajurit TNI, Gautama banyak menggeluti bidang intelijen. Gautama juga pernah menjadi Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNT)

“Sampai sini kita mendapat satu informasi bahwa meskipun Partai Prima adalah partai baru namun akses kepada kekuasaan saat ini adalah amat dekat,” ujarnya.

Disamping itu, Budiman Sudjatmiko yang merupakan sohib dekat dari Agus Jabo adalah orang dekat dari Presiden Joko Widodo.

ini terbukti dimana Budiman beberapa waktu yang lalu menggalang aksi demo aparat desa ke Jakarta dan bertemu dengan presiden di istana.

Di sisi lain isu perpanjangan masa jabatan, isu penundaan pemilu memang gencar disuarakan rezim saat ini. Mulai dari para menteri, ketua ketua partai getol menyuarakan isu ini.

“Sehingga dengan munculnya keputusan kontroversial PN Jakpus ini semakin menguatkan dugaan bahwa keputusan ini tak lebih dari sebuah orkestrasi tentang upaya menunda pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang mesti kita lawan bersama,” katanya.

Skenario Chaos Hukum

MadNur menegaskan, penundaan pemilu masuk ke ranah pengadilan adalah skenario Chaos hukum. Sebab, proses pengadilan adalah proses yang panjang, berbelit dan membutuhkan waktu.

Apalagi untuk menganulir keputusan hakim PN Jakpus yang menunda pemilu harus dengan keputusan hakim diatasnya yaitu Pengadilan tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA). Sementara Pemilu 2024 tinggal beberapa bulan lagi.

“Apabila KPU mengikuti alur hukum yang ada, maka KPU terjebak pada skenario Chaos hukum dimana tidak ada kepastian hukum karena proses bandingnya berlangsung panjang,” kata Pengamat Kebijakan Publik Narasi Institute ini.

Karena itu, untuk mencegah skenario Chaos hukum perlu ada jalan lain untuk memastikan pemilu tetap berlangsung diantaranya melalui pernyataan Mahkamah Agung, bahwa pihak KPU bisa mengabaikan keputusan PN Jakpus.

Sebab, keputusan tersebut diluar ranah hakim PN karena menyangkut konstitusi yang mewajibkan pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali.

“Dengan adanya fatwa MA tersebut, skenario Chaos hukum bisa Indonesia hindari,” tegas MadNur.

Partai Gelora Dapat Dukungan Penuh dari Paguyuban Pasundan Cirebon di Pemilu 2024

Partaigelora.id – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mendapatkan dukungan penuh dari Paguyuban Pasundan Cirebon dalam Pemilu 2024 mendatang.

Paguyuban Pasundan Cirebon mendoakan Partai Gelora yang memiliki nomor urut 7 tersebut, bisa lolos ke Senayan dan mengawal berbagai kebijakan yang pro rakyat.

Hal itu disampaikan Ketua Paguyuban Pasundan Cirebon Hediyana Yusuf saat menerima kunjungan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gelora Mahfuz Sidik di Sekretariat Pasundan Cirebon di Jalan Sekarkemuning Kelurahan Karyamulya Kecamatan Kesambi Kota Cirebon, Jawa Barat, Minggu (5/3/2023).

Hediyana mengatakan sudah lama mengenal Mahfuz Sidik, bahkan dia mengaku kerap bertukar informasi maupun pemikiran mengenai pendidikan di Cirebon dan perpolitikan nasional.

Ketua Paguyuban Pasundan Cirebon pun mengakui bahwa Sekjen Partai Gelora tersebut, merupakan sahabat karibnya. Karena itu, pertemuannya dengan Mahfuz Sidik dianggapnya sebagai nostalgia antar dua sahabat.

“Pak Mahfuz ini bukan orang lain bagi kami. Tentu kita yakin dan menaruh harapan kepada beliau agar bisa mengawal aspirasi kami di senayan nanti,” kata Hediyana.

“Kami tentu doakan yang terbaik buat saudara saya ini agar banyak memberikan kontribusi bagi warga di wilayah Cirebon, khususnya pendidikan,” imbuhnya.

Hediyana mengatakan, saat ini terjadi pergeseran dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat menjelang Pemilu 2024. Yakni bergeser kearah kepentingan pragmatisme sesaat.

“Sehingga nilai demokrasi kian terkikis dan menghasilkan politisi karbitan. Bukan keilmuan dan kemampuannya mengelola potensi diri dari para kader partai, melainkan para pemilik modal yang lebih dominan untuk bisa merebut suara rakyat,” ujarnya.

Ia berharap agar Partai Gelora untuk bisa mewujudkan harapan masyarakat dengan kemampuan dan segala potensi yang dimiliki serta menghindari pragmatisme semata.

“Saya optimis Partai Gelora mampu mewujudkan harapan masyarakat. Dan ini juga bagian dari tugas Partai Gelora agar menghindari pragmatisme dalam Pemilu. Supaya masyarakat kian cerdas menentukan pilihan para wakilnya nanti. Saya yakin, Pak Mahfuz bisa itu,” paparnya.

Sementara itu, Sekjen Partai Gelora, Mahfuz Sidik mengapresiasi harapan yang disampaikan Ketua Paguyuban Pasundan Cirebon Hediyana Yusuf kepada Partai Gelora.

“Pak Hediyana Yusuf ini sangat luar biasa dedikasi dan pengabdiannya dalam memajukan pendidikan di Cirebon. Ia jelas adalah tokoh yang luar biasa. Makanya, kami ajak kolaborasi untuk kemajuan pendidikan generasi masa depan,” ujar Mahfuz.

Mahfuz mengatakan, kehadiran Partai Gelora di Pemilu 2024 adalah dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai superpower baru dunia. Untuk mewujudkan hal itu, butuh kolaborasi semua pihak, tidak bisa hanya Partai Gelora saja.

“Semoga harapan dan doa-doa Ketua Paguyuban Pasundan bisa terkabul di Pemilu mendatang untuk Partai Gelora. Kami mengajak semua kalangan dan elemen masyarakat agar bersama-sama berkolaborasi mewujudkan apa yang menjadi salah satu cita-cita Ketua Paguyuban Pasundan ini,” pungkas Mahfuz Sidik.

S

Partai Gelora Nilai Kinerja DPR Periode 2019-2024 Memble, Termasuk yang Ngaku Oposisi

Partaigelora.id – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengkritisi kinerja DPR RI Periode 2019-2024 saat ini, baik partai politik (parpol) yang pro pemerintah maupun partai yang mengaku sebagai oposisi.

Fahri menilai DPR sekarang memble dalam memberikan kritik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintah.

“Masa saya yang harus begitu, kritik ke Pak Jokowi. Mendingan saya kritik DPR dan DPD RI, eh kenapa kamu enggak kuat, katanya oposisi kenapa memble,” sentil Fahri dalam keterangan tertulisnya, Minggu (5/3/2023).

Menurut Fahri, DPR RI saat ini berbeda dengan periode saat dirinya menjadi Anggota Parlemen, apalagi ketika dirinya menjadi Wakil Ketua DPR.

Fahri lantas menceritakan, saat dirinya menjadi Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, ia memiliki amanat dan kewajiban untuk kritis terhadap pemerintah.

Oleh karena itu, ia menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat dengan mengawasi dan mengkritik pemerintah agar semakin sesuai dengan harapan rakyat.

“Karena itu kerjaan saya dan kerjaan itu juga disertai dengan diberikannya imunitas kepada saya. Jadi kalau dulu, orang bilang wah ini Fahri berani banget kritik KPK, kritik Pak Jokowi. Bukan berani, harus. Dan saya oleh negara dikasih kekebalan supaya omongan saya enggak dipidana (saat jadi Anggota DPR RI, red),” ungkapnya.

Karena itu, wakil ketua umum partai nomor 7 berwarna biru ini berharap DPR RI sekarang bisa semakin kritis kepada Presiden dan pemerintah.

“Jangan sampai justru rakyat yang menjadi oposisi pemerintah, sementara DPR RI tidak bekerja menyampaikan aspirasi rakyat,” katanya.

Apalagi, lanjut Fahri, sebagai Anggota Dewan itu sendiri juga sudah dipercayakan rakyat untuk menyalurkan aspirasinya, mendapatkan gaji, serta kekebalan hukum dalam hal mengkritik pemerintah.

“Kalau di negara demokrasi yang matang itu, rakyat itu setelah nyoblos, kerja. Yang berantem diambil alih parlemen. Nah kita ini engga, kita disuruh berantem, parlemnnya tidur. Malah parlemennya cari nafkah lain,” kata Fahri.

Jadi, masih menurut Fahri Hamzah, Anggota Dewan yang memiliki pendapat berbeda dengan fraksinya, seharusnya tidak boleh dihukum.

Fahri berpandangan, hubungan antara anggota dan fraksi adalah hubungan etik, sehingga Anggota DPR RI baru bisa dihukum oleh fraksinya ketika melanggar hukum atau etika jabatan.

“Dewan yang telah dikadernya dan telah memahami ide-ide dan ideologi dalam pemikiran bernegara. Tapi dia enggak punya mekanisme hukuman,” ujarnya seraya menambahkan bahwa seorang anggota parpol yang terpilih menjadi pejabat negara atau Anggota Dewan, maka loyalitasnya harus berubah kepada negara, bukan lagi parpolnya.

“Saat seorang kader partai menjadi pejabat publik, berarti mereka sudah pindah ke dalam ruang negara, diatur oleh hukum publik, dan mendapat gaji dari rakyat. Berbeda dengan anggota partai yang tidak menjadi pejabat publik. Ranah anggota partai yang bukan pejabat publik adalah di internal partainya,”pungkas politisi asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.

Partai Gelora: Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu Merusak Demokrasi

Partaigelora.id – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia memadang putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) untuk menunda Pemilu 2024 tersebut, sebagai putusan yang keblinger, sesat dan menyesatkan

Pernyataan Partai Gelora itu merespons putusan PN Jakpus yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Kamis (2/3/2023)

Dalam amar putusan hakim, KPU sebagai pihak tergugat diminta menunda tahapan Pemilu 2024 dalam tempo 2 tahun 4 bulan dan 7 hari, atau ditunda hingga Juli 2025.

“Partai Gelora memandang Putusan PN Jakarta Pusat tersebut keblinger, sesat dan menyesatkan. Karena yang menjadi objek sengketa adalah Keputusan KPU yang bersifat beschikking (individual dan kongkrit) dan itu merupakan kompetensi absolut dari Peradilan Administrasi (TUN),” kata Amin Fahrudin, Ketua DPN Partai Gelora Bidang Hukum dan HAM dalam keterangannya, Jumat (3/3/2023).

Menurut Amin, seharusnya PN menolak untuk mengadili perkara a quo atau menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau N.O ( Niet Ontvanklijke).

Alasan selanjutnya, mengapa putusan tersebut dianggap keblinger adalah karena amar putusannya bersifat regeling (mengatur) yaitu mengubah norma yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu maupun Peraturan KPU.

“Yang seharusnya menjadi kompetensi absolut dari Mahkamah Konstitusi (jika UU) dan Mahkamah Agung ( jika Peraturan KPU),” ujar Amin.

Sebenarnya, kata Amin, upaya hukum Partai Prima ke Bawaslu dan PTUN sudah dilakukan, akan tetapi kedua lembaga tersebut menolak mengabulkan dan diputus gugatan tidak dapat diterima dan putusan tersebut yang menjadi acuan.

“PN Jakpus seharusnya menjadikan Putusan PTUN tersebut sebagai acuan dan menyatakan selain perkaranya secara formil melanggar kompetensi absolut, perkara tersebut juga harus dinyatakan nebis in idem,” tegasnya.

Karena itu, Partai Gelora mendukung upaya banding yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dan Mahkamah Agung (MA).

“Dan sudah seharusnyalah Pengadilan Tinggi atau nanti di Mahkamah Agung menolak gugatan Partai Prima yang berdampak pada penundaan pemilu dan tentunya merusak tatanan demokrasi yang telah ditetapkan secara formal prosedural dan konstitusional,” tegas Amin.

Seperti diketahui, PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima yang menolak statusnya sebagai parpol tidak memenuhi syarat (TMS) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta Pemilu 2024.

Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam verifikasi administrasi partai politik, sebab Partai Prima dinyatakan TMS.

Dalam putusan PN Jakpus tersebut, KPU sebagai pihak tergugat diminta menunda tahapan Pemilu 2024 dalam tempo 2 tahun 4 bulan dan 7 hari, atau ditunda hingga Juli 2025.

Gugatan Partai Prima ke PN Jakarta Pusat pada 8 Desember 2022, dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

Alamat Dewan Pengurus Nasional

Jl. Minangkabau Barat Raya No. 28 F Kel. Pasar Manggis Kec. Setiabudi – Jakarta Selatan 12970 Telp. ( 021 ) 83789271

Newsletter

Berlangganan Newsletter kami untuk mendapatkan kabar terbaru.

X