Achmad Rosyadi Lubis, namanya. Nama marganya yang justru beken sebagai sapaan oleh dan di kalangan kawan-kawannya. Termasuk mereka yang baru mengenalnya, semisal saya. Ini agak ganjil lantaran saya lebih mengenal nama depan macam Mochtar dan Amarzan (dua jurnalis kawakan), Zulkifli “Bapak Intelijen RI”, Ansyari pemain bola Pelita Jaya, hingga Uni Zulfiani. Tapi tidak dengan sosok ini. Nama depan dan tengahnya tenggelam oleh marga.
Hanya sekali bersua langsung. Tahun lalu saat ia tandang ke Yogyakarta. Obrolan ketika ia telah letih di temaram malam. Saya suai ia selepas “membakar” manusia Arah Baru.
Tapi, interaksi dengan teks dan legasinya yang banyak diutarakan kawan-kawannya, yang sebagian juga saya kenali, tandaskan satu bab: Bang Lubis memang spesial. Soal jam terbang ketulusan dalam dakwah, cukup saya saksama dari tulisan yang pernah dikirimkan ketika Poestaka Rembug Kopi menerbitkan Ketika Gelisah Mengubah Arah (2019). Isinya, apa yang ia tulis setali dengan kesaksian orang-orang yang mengenalnya.
Ia pernah safar bersama keluarganya. Tahun lalu ia unggah agenda inspiratif itu. Anjangsana ke Jawa ke kantong-kantong pengetahuan dan tokoh. Mulazamah sejenak sembari sabatikal di sela kesibukan. Kota demi kota disusuri dengan kendaraan umum seperti kereta dan bus. Bersahaja, namun bukan pelesir biasa di sebalik itu.
Sebagai pengajak kepengasuhan di banyak majelis, sepadan dan sejalan dengan perkataan ihwal menghargai ilmu. Dan itu diturunkan dalam praktik nyata yang kelak berwujud hasab juga sanad pengetahuan ke nasab dirinya generasi bergenerasi kelak.
Saya pikir safar ilmiahnya tak terpisahkan dari etos Melayu Deli tempat asalnya. Pun ketika dia bermukim di Bali, jejak itu tak pudar. Dengan skala yang dipunyai, ia manusia kosmopolit buat ukurannya. Paling tidak bagi keluarganya dalam meluaskan minda dan cakrawala.
Beberapa hari belakangan, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII karya apik Azyumardi Azra seperti ingin dijamah lagi oleh mata dan pikiran. Semasih bab 1 didaras, kabar dari Pulau Pura mengumandang di pesan. Ini tak ada sebab akibat, selain sebuah bagian dari edaran kehendak-Nya. Tak ada tendensi apalagi menjuruskan logika pada post hoc ergo propter hoc.
Balik ke kabar selepas dhuha tadi. Pembaca status ini tentu paham ke mana arahnya. Ya, Bang Lubis tiada. Dalam sakit yang insya Allah jadi peringan hisabnya di akhirat kelak.
Teks Jaringan Ulama langsung terkoneksi dengan perilaku Bang Lubis. Dia, dalam arti prolifik, memang bukan alim dalam bahasan Azra. Tapi, jalan safar bersama keluarganya dalam menimba pengetahuan dan jajaring ukhuwah, sungguh serpihan nyata membina koneksi keilmuan kiwari.
Legasi Bang Lubis inilah yang kiranya pantas kita, atau setidaknya saya, kenang. Tentu bersama kebaikan ia yang lain. Semoga Allah menerima amal-amal almarhum, dan menggantikan yang lebih baik pada keluarganya.
Yusuf Maulana
Belum ada komentar