Di Mekah, Nabi Muhammad hadir dan berkiprah di tengah masyarakat perniagaan. Masyarakat yang asing dengan apa yang diemban beliau. Apa yang disampaikan Nabi masih berjarak dan belum menyentuh jiwa banyak warga Mekah. Langit narasi Mekah seperti terbelah dengan hadirnya seruan Nabi Muhammad. Dan ini mengusik kemapanan banyak penghuni tanah berdiri kokohnya Baitullah. Jadilah kemudian: resistensi dan perlawanan. Tidak peduli bahwa mereka sebenarnya selama ini mendakwa Muhammad sebagai sosok jujur lagi amanah: Al-Amin.
Di Mekah, narasi yang dibawa Nabi Muhammad membumbung tinggi. Membawa beliau sebagai narator terbaru, terunggul, dan sukar dibantah alias terpercaya. Narasi yang beliau bawa sontak mendapat reaksi para pemilik narasi di Mekah yang berposisi berlawanan dengan seruan Nabi Muhammad. Para pemegang predikat pujangga telah menguji syair-syair terbaik. Para periwayat syair, rapsodis, angkat tangan. Tujuh syair terbaik yang digantung di dinding Ka’bah, as-sab al-mu’allaqat bak gubahan pemula. Belum lagi yang menguji akurasi narasi dari lelaki yang mendakwa sebagai nabi itu. Hasilnya: “syair” yang dibawa Muhammad begitu memesona, otentik, dan sukar dilampaui karya adiluhung sekalipun.
Pada masyarakat narasi, kita dapati aktor tunggal yang menonjol. Aktor yang menggetarkan sekaligus menggerakkan banyak orang. Mengubah dan mengusik tatanan masyarakatnya. Derajat pergetaran maupun perubahannya bergantung pada kualitas narator. Dan Nabi Muhammad amat sangat memadai untuk menjadi narator tunggal.
Menjadi narator tunggal pada masyarakat narasi adalah kewajaran. Untuk perubahan ada yang menarasikan gagasan. Melejitkan pikiran yang berbeda dengan zaman. Atau sebenarnya gagasan pemurnian yang tebersit pada dada-dada insan yang masih memiliki fitrah mengenali mana kebenaran dan mana kepalsuan.
Arus gagasan pada masyarakat narasi memang monolitik. Satu arah untuk menggulingkan tatanan yang ada. Tiada posisi kritik yang terbuka lebar. Sebab, masyarakat narasi lebih menghendaki adanya keterpanggilan jiwa untuk siap mendengar seruan narator. Dus, jadilah pengaruh pada masyarakat narasi itu: kesadaran diri dan komunal. Bahwa kita, entah selaku pribadi ataupun komunal, harus lekas mengikuti narasi yang dikemukakan penuh gelora sang narator.
Namun, pada masyarakat narasi juga ada ujian. Ujian dari ketenaran dan kehendak ingin tampil tunggal. Tabiat masyarakat narasi memang siapa yang paling pertama dan sekaligus signifikan mengubah banyak pemikiran publik. Ada godaan di sini. Beberapa orang baik lagi berilmu tergoda untuk tampil ke depan. Tampil untuk menjadi narator kendati kapasitas yang dimiliki hanya pas-pasan. Jadilah, apa yang disampaikan narator yang bergegas itu hambar bahkan kosong dari permaknaan. Menyimpulkan tanpa kontemplasi memadai. Sekadar mereaksi apa yang dituntut massa walau bukan sebuah hajat penting.
Seorang Nabi Muhammad pantas menjadi suri teladan. Beliau personal hebat bukan semata karena ditugasi sebagai penyeru sekalian hamba-hamba-Nya. Beliau juga hebat lantaran mampu menahan diri untuk tidak jadi orang yang berbangga dan pamer diri kedudukan sebagai narator. Narator pada masyarakat narasi memang niscaya membuatnya tampil melejit. Tapi, dari sini ada godaan sekaligus ujian: seberapa kuat untuk tidak menonjolkan diri agar pribadi kita beserta narasinya dikenal luas?
Masyarakat narasi inilah yang kita hadapi sekarang, seturut masif dan meluasnya penggunaan media sosial maupun gawai. Muslimin ingin tampil seolah jadi narator yang otoritatif dalam satu persoalan. Padahal, yang ada hanyalah ketergasaan untuk membuat nama kita harum diketahui publik. Dan ketenaran ini berbanding lurus dengan pendapatan ekonomi yang masuk ke sang narator!
Pasca-masyarakat narasi adalah ketika orang-orang sudah menjadikan narasi sebagai medan berpikir dan bertindak. Orang tak lagi bergegas. Ada kebutuhan untuk berpikir, menelaah, menguji. Memang masih acak lantaran banyaknya aktor yang menyerukan narasi. Seturut itu, ada diskursus hangat dengan undangan kritik yang meluas. Inilah tabiat masyarakat pengetahuan. Persis seperti kondisi yang disuai Nabi Muhammad kala berhadapan dengan warga Yatsrib alias Madinah.
Orang-orang Madinah sudah jamak paham tentang bakal hadirnya nabi baru. Orang Yahudi—harus diakui secara objektif—turut mengakselerasi terbentuknya masyarakat pengetahuan warga Madinah. Bakal hadirnya nabi baru itu bukan narasi asing bagi warga Yatsrib. Dalam urusan nubuwat kenabian, plus kedudukan sosial, warga Yahudi di Yatsrib dianggap kredibel dan terhormat. Mereka dipandang memiliki pengetahuan sesuai jalur komunitas ahli kitab yang tidak mungkin akan diselewengkan.
Narasi yang diagensikan komunitas Yahudi diterima secara meluas oleh masyarakat Arab Yatsrib yang banyak berlatar pertanian. Konstruksi pengetahuan masa lalu, dan kisah-kisah hebat, memang identik dengan sosiologi masyarakat pertanian. Sering kali dipandang mudah terbujuk hal-hal super mitos. Tapi di sini menariknya: publik Arab Yatsrib mengonstruksi narasi kenabian tidak sebagai mitos. Tidak sebagai narasi baru yang melahirkan narator-narator di luar Yahudi. Narasi yang melahirkan kisah hiperbolis dan superlatif tapi sejatinya hasil menyelewengkan makna kisah otentiknya (Hal yang demikian banyak terjadi di lingkungan agraris di negeri kita, bukan?).
Alih-alih menjadi masyarakat mitos, Arab Yatsrib dari suku Aus dan Khazraj dengan penuh liku dan perjuangan memunculkan masyarakat pengetahuan. Narasi Yahudi yang dipertautkan dengan narasi Nabi Muhammad melahirkan kesadaran tentang kebenaran pada risalah kenabian. Itulah kesadaran yang memunculkan masyarakat pengetahuan, Masyarakat yang disiapkan menuju masyarakat ilmu pada tahap berikutnya. []
Penulis: @SambenLibrary; menjelang syarahan Ketua Umum bareng kawula masyarakat Kota Narasi
Belum ada komentar